Pencemaran tanah Oleh minyak
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kita semua tahu Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya alamnya. Salah satu kekayaan tersebut, Indonesia memiliki tanah yang sangat subur karena berada di kawasan yang umurnya masih muda, sehingga di dalamnya banyak terdapat gunung-gunung berapi yang mampu mengembalikan permukaan muda kembali yang kaya akan unsur hara.
Namun seiring berjalannya waktu, kesuburan yang dimiliki oleh tanah Indonesia banyak yang digunakan sesuai aturan yang berlaku tanpa memperhatikan dampak jangka panjang yang dihasilkan dari pengolahan tanah tersebut.
Salah satu diantaranya, penyelenggaraan pembangunan di Tanah Air tidak bisa disangkal lagi telah menimbulkan berbagai dampak positif bagi masyarakat luas, seperti pembangunan industri dan pertambangan telah menciptakan lapangan kerja baru bagi penduduk di sekitarnya. Namun keberhasilan itu seringkali diikuti oleh dampak negatif yang merugikan masyarakat dan lingkungan.
Pembangunan kawasan industri di daerah-daerah pertanian dan sekitarnya menyebabkan berkurangnya luas areal pertanian, pencemaran tanah dan badan air yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas hasil/produk pertanian, terganggunya kenyamanan dan kesehatan manusia atau makhluk hidup lain. Sedangkan kegiatan pertambangan menyebabkan kerusakan tanah, erosi dan sedimentasi, serta kekeringan. Kerusakan akibat kegiatan pertambangan adalah berubah atau hilangnya bentuk permukaan bumi (landscape), terutama pertambangan yang dilakukan secara terbuka (opened mining) meninggalkan lubang-lubang besar di permukaan bumi. Untuk memperoleh bijih tambang, permukaan tanah dikupas dan digali dengan menggunakan alat-alat berat. Para pengelola pertambangan meninggalkan areal bekas tambang begitu saja tanpa melakukan upaya rehabilitasi atau reklamasi.
Dampak negatif yang menimpa lahan pertanian dan lingkungannya perlu mendapatkan perhatian yang serius, karena limbah industri yang mencemari lahan pertanian tersebut mengandung sejumlah unsur-unsur kimia berbahaya yang bisa mencemari badan air dan merusak tanah dan tanaman serta berakibat lebih jauh terhadap kesehatan makhluk hidup.
Berdasarkan fakta tersebut, sangat diperlukan pengkajian khusus yang membahas mengenai pencemaran tanah beserta dampaknya terhadap lingkungan di sekitarnya.
B. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini antara lain, yaitu:
1. sebagai bahan kajian para mahasiswa mengenai dampak pencemaran terhadap lingkungan
2. sebagai cara untuk mencari berbagai cara untuk menanggulangi dampak pencemaran yang sedang dikaji
3. sebagai metode pengumpulan data tentang pencemaran lingkungan
C. RUANG LINGKUP
Makalah ini membahas mengenai pencemaran tanah, mulai dari gambaran, dampak, dan cara menanggulangi pencemaran tanah tersebut.
BAB II
METODE PENULISAN
A. OBJEK PENULISAN
Objek penulisan mencakup gambaran/ penjelasan, dampak yang ditimbulkan, dan cara penanggulangan pencemaran tanah.
B. DASAR PEMILIHAN OBJEK
Objek yang penulis pilih adalah mengenai pencemaran tanah, karena tanah merupakan salah satu komponen kehidupan yang sangat penting. Semua manusia pasti sangat tergantung akan keberadaan tanah tersebut. Namun, banyak orang yang belum mengetahui bagaimana cara pengolahan tanah yang tepat tanpa banyak menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan.
C. METODE PENGUMPULAN DATA
Dalam penulisan makalah ini, penulis secara umum mendapatkan bahan tulisan dari berbagai referensi, baik dari tinjauan kepustakaan berupa buku – buku atau dari sumber media internet yang terkait dengan pencemaran lingkungan.
D. METODE ANALISIS
Penyusunan makalah ini berdasarkan metode deskriptif analisis, yaitu dengan mengidentifikasi permasalahan berdasarkan fakta dan data yang ada, menganalisis permasalahan berdasarkan pustaka dan data pendukung lainnya, serta mencari alternatif pemecahan masalah.
BAB III
ANALISIS PERMASALAHAN
A. PEMBAHASAN
aGambaran dari Pencemaran Tanah
Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia masuk dan merubah lingkungan tanah alami. Pencemaran ini biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan kendaraan pengangkut minyak, zat kimia, atau limbah; air limbah dari tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung dibuang ke tanah secara tidak memenuhi syarat (illegal dumping).
Ketika suatu zat berbahaya/beracun telah mencemari permukaan tanah, maka ia dapat menguap, tersapu air hujan dan atau masuk ke dalam tanah. Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat kimia beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan udara di atasnya.
1. Dampak yang Ditimbulkan Akibat Pencemaran Tanah
Berbagai dampak ditimbulkan akibat pencemaran tanah, diantaranya:
1. Pada kesehatan
Dampak pencemaran tanah terhadap kesehatan tergantung pada tipe polutan, jalur masuk ke dalam tubuh dan kerentanan populasi yang terkena. Kromium, berbagai macam pestisida dan herbisida merupakan bahan karsinogenik untuk semua populasi. Timbal sangat berbahaya pada anak-anak, karena dapat menyebabkan kerusakan otak, serta kerusakan ginjal pada seluruh populasi.
Paparan kronis (terus-menerus) terhadap benzena pada konsentrasi tertentu dapat meningkatkan kemungkinan terkena leukemia. Merkuri (air raksa) dan siklodiena dikenal dapat menyebabkan kerusakan ginjal, beberapa bahkan tidak dapat diobati. PCB dan siklodiena terkait pada keracunan hati. Organofosfat dan karmabat dapat menyebabkan gangguan pada saraf otot. Berbagai pelarut yang mengandung klorin merangsang perubahan pada hati dan ginjal serta penurunan sistem saraf pusat. Terdapat beberapa macam dampak kesehatan yang tampak seperti sakit kepala, pusing, letih, iritasi mata dan ruam kulit untuk paparan bahan kimia yang disebut di atas. Yang jelas, pada dosis yang besar, pencemaran tanah dapat menyebabkan Kematian.
Pada Ekosistem
Pencemaran tanah juga dapat memberikan dampak terhadap ekosistem. Perubahan kimiawi tanah yang radikal dapat timbul dari adanya bahan kimia beracun/berbahaya bahkan pada dosis yang rendah sekalipun. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan metabolisme dari mikroorganisme endemik dan antropoda yang hidup di lingkungan tanah tersebut. Akibatnya bahkan dapat memusnahkan beberapa spesies primer dari rantai makanan, yang dapat memberi akibat yang besar terhadap predator atau tingkatan lain dari rantai makanan tersebut. Bahkan jika efek kimia pada bentuk kehidupan terbawah tersebut rendah, bagian bawah piramida makanan dapat menelan bahan kimia asing yang lama-kelamaan akan terkonsentrasi pada makhluk-makhluk penghuni piramida atas. Banyak dari efek-efek ini terlihat pada saat ini, seperti konsentrasi DDT pada burung menyebabkan rapuhnya cangkang telur, meningkatnya tingkat Kematian anakan dan kemungkinan hilangnya spesies tersebut.
Dampak pada pertanian terutama perubahan metabolisme tanaman yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan hasil pertanian. Hal ini dapat menyebabkan dampak lanjutan pada konservasi tanaman di mana tanaman tidak mampu menahan lapisan tanah dari erosi. Beberapa bahan pencemar ini memiliki waktu paruh yang panjang dan pada kasus lain bahan-bahan kimia derivatif akan terbentuk dari bahan pencemar tanah utama.
1. Penanganan yang Harus Dilakukan
Ada beberapa langkah penangan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran tanah. Diantaranya:
1. Remidiasi
Remediasi adalah kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi.
Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.
2. Bioremediasi
Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).
B. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia masuk dan merubah lingkungan tanah alami. Pencemaran ini biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan kendaraan pengangkut minyak, zat kimia, atau limbah; air limbah dari tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung dibuang ke tanah secara tidak memenuhi syarat (illegal dumping).
Ada beberapa cara untuk mengurangi dampak dari pencemaran tanah, diantaranya dengan remediasi dan bioremidiasi. Remediasi yaitu dengan cara membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Sedangkan Bioremediasi dengan cara proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri).
B. SARAN
Untuk lebih memahami semua tentang pencemaran tanah, disarankan para pembaca mencari referensi lain yang berkaitan dengan materi pada makalah ini. Selain itu, diharapkan para pembaca setelah membaca makalah ini mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari – hari dalam menjaga kelestarian tanah beserta penyusun yang ada di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Soekarto. S. T. 1985. Penelitian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhatara Karya Aksara, Jakarta. 121 hal.
Wikipedia. 2007. Pencemaran Tanah (On-line). http://id.wikipedia.org/wiki/pencemaran_tanah. diakses 26 Desember 2007.
Bachri, Moch. 1995. Geologi Lingkungan. CV. Aksara, Malang. 112 hal.
Senin, 03 Mei 2010
PENCEMARAN TANAH AKIBAT PENGGUNAAN PESTISIDA PADA KEGIATAN PERTANIAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lngkungan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfingsi lagi sesuai dengan peruntukannya (UU Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982). Pencemaran dapat timbul sebagai akibat kegiatan manusia ataupun disebabkan oleh alam (misal gunung meletus, gas beracun). Ilmu lingkungan biasanya membahas pencemaran yang disebabkan oleh aktivitas manusia, yang dapat dicegah dan dikendalikan. Karena kegiatan manusia, pencermaran lingkungan pasti terjadi. Pencemaran lingkungan tersebut tidak dapat dihindari. Yang dapat dilakukan adalah mengurangi pencemaran, mengendalikan pencemaran, dan meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya agar tidak mencemari lingkngan.
B. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan penyusunan makalah ini, antara lain yaitu :
• Sebagai bahan kajian para mahasiswa mengenai dampak terhadap pencemaran lingkungan terutama pencemaran tanah yang diakibatkan oleh kegiatan pertanian.
• Sebagai cara untuk mencari berbagai cara untuk menanggulangi dampak pencemaran yang sedang dikaji.
• Sebagai metode pengumpulan data tentang pencemaran lingkungan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pestisida dan Pencemaran Tanah
Kita semua tahu Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya alamnya. Salah satu kekayaan tersebut, Indonesia memiliki tanah yang sangat subur karena berada di kawasan yang umurnya masih muda, sehingga di dalamnya banyak terdapat gunung-gunung berapi yang mampu mengembalikan permukaan muda kembali yang kaya akan unsur hara.
Tanah merupakan tempat kehidupan mikroorganisme yang secara makro menguntungkan bagi mahkluk hidup lainnya, termasuk manusia. Mikroorganisme yang menghuni tanah dapat dikelompokkan menjadi bakteri, fungi, aktinomisetes, alga, dan protozoa. Jumlah dan jenis mikroorganisme tanah dipengaruhi oleh perubahan lingkungan.
Namun seiring berjalannya waktu, kesuburan yang dimiliki oleh tanah Indonesia banyak yang digunakan sesuai aturan yang berlaku tanpa memperhatikan dampak jangka panjang yang dihasilkan dari pengolahan tanah tersebut. Dengan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, semakin tinggi pula daya saing untuk mencapai tingkat kemudahan dalam setiap aktifitas hidupnya sehari-hari. Satu hal vital yang tidak luput dari proses pengaplikasian pengetahuan memberikan dampak besar terhadap kegiatan pertanian tanah air yang notabene merupakan sumber pencaharian terbesar sebagian masyarakat negara agraris ini. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dengan waktu yang seefisien mungkin dalam kegiatan pertanian maka diwujudkanlah hal tersebut dengan penggunaan pestisida selama aktifitas pertanian tersebut berlangsung.
Untuk memenuhi perkembangan ekonomi yang saat ini semakin meningkat, maka sangat dibutuhkannya Ilmu pengetahuan mengenai pupuk dan pestisida. Karena menyangkut hal-hal tentang pertanian dan perkebunan yang merupakan aspek utama dalam perekonomian Negara Indonesia yang beriklim tropis.
Penggunaan pestisida sintetis pada pertanian merupakan dilema. Di satu sisi sangat dibutuhkan dalam rangka penyediaan pangan, di sisi lain tanpa disadari mengakibatkan berbagai dampak negatif, baik terhadap manusia, hewan mikroba maupun lingkungan. Pemakaian pestisida haruslah sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundangan yang berlaku. Penggunaannya haruslah diperuntukkan membasmi organisme pengganggu tanaman secara selektif dan seminimal mungkin merugikan organisme dan target.
Belum banyak disadari hingga saat ini bahwa pemanfaatan bahan-bahan agrokimia yang berlebihan untuk menggenjot produksi menyebabkan kerusakan lingkungan dan hilangnya lapisan tanah yang mengandung nutrisi. Di samping itu, kualitas produksi yang dihasilkan pun akan menurun. Di Indonesia polusi tanah ini merupakan masalah yang harus dihadapi. Pemakaian pupuk dan pestisida dalam jumlah yang besar menimbulkan pencemaran bagi tanah dan air tanah dengan kadar racun yang beraneka ragam. Degradasi tanah pertanian sudah makin parah dan dengan sudah mengendapnya pestisida maupun bahan agrokimia lainnya dalam waktu yang cukup lama. Padahal, untuk mengembalikan nutrisinya tanah memerlukan waktu ratusan tahun, sedangkan untuk merusaknya hanya perlu beberapa tahun saja. Hal ini terlihat dari menurunnya produktivitas karena hilangnya kemampuan tanah untuk memproduksi nutrisi.
Ada beberapa pengaruh negatif lainnya pemakaian pestisida sintetis secara tidak sesuai. Pertama, pencemaran air dan tanah yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap manusia dan makhluk lainnya dalam bentuk makanan dan minuman yang tercemar. Kedua, matinya musuh alami dari hama maupun patogen dan akan menimbulkan resurgensi, yaitu serangan hama yang jauh lebih berat dari sebelumnya. Ketiga, kemungkinan terjadinya serangan hama sekunder. Contohnya: penyemprotan insektisida sintetis secara rutin untuk mengendalikan ulat grayak (hama primer) dapat membunuh serangga lain seperti walang sembah yang merupakan predator kutu daun (hama sekunder). Akibatnya setelah ulat grayak dapat dikendalikan, kemungkinan besar tanaman akan diserang oleh kutu daun. Keempat, kematian serangga berguna dan menguntungkan seperti lebah yang sangat serbaguna untuk penyerbukan. Kelima, timbulnya kekebalan/resistensi hama maupun patogen terhadap pestisida sintetis. Berdasarkan pertimbangan tersebut, setiap rencana penggunaan pestisida sintetis hendaknya dipertimbangkan secara seksama tentang cara penggunaan yang paling aman, di satu sisi efektif terhadap sasaran, di sisi yang lain aman bagi pemakai maupun lingkungan.
Sebenarnya tidak semua jenis insekta, cacing (nematode) dan lain-lain merupakan hama dan penyakit bagi tanaman, akan tetapi racun serangga telah membunuhnya. Tetapi makhluk-makhluk kecil ini sangat diperlukan untuk kesuburan tanah selanjutnya. Apabila penyemprotan dilakukan secara berlebihan atau takaran yang dipakai terlalu banyak, maka yang akan terjadi adalah kerugian. Tanah disekitar tanaman akan terkena pencemaran pestisida. Akibatnya makhluk-makhluk kecil itu banyak yang ikut terbasmi, sehingga kesuburan tanah menjadi rusak karenanya. Bukan tidak mungkin tragedi kegersangan dan kekeringan terjadi.
Dan akibat yang paling parah, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pestisida dari tahun ke tahun menurun.Dunia pertanian modern adalah dunia mitos keberhasilan modernitas. Keberhasilan diukur dari berapa banyaknya hasil panen yang dihasilkan. Semakin banyak, semakin dianggap maju. Di Indonesia, penggunaan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an.
Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah.Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah.
Namun berakibat:
1. Berbagai organisme penyubur tanah musnah
2. Kesuburan tanah merosot/tandus
3. Tanah mengandung residu (endapan) pestisida
4. Hasil pertanian mengandung residu pestisida
5. Keseimbangan ekosistem rusak; dan
6. Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama.
Apabila pestisida dipakai dalam batas-batas kewajaran sesuai dengan petunjuk penggunaan kiranya merupakan tindakan yang bisa memperkecil lingkup risiko yang harus ditanggung manusia dan alam. Pemakaian pestisida secara membabi buta bisa mengundang bencana.
Oleh karena itu masalah pestisida menuntut perhatian semua pihak, tidak hanya para pejabat, tidak hanya sipemakai jasa. Kita semua memikul tanggung jawab bersama atas lingkungan hidup kita sendiri. Pestisida bukan hanya menjadi tangung jawab pabrik panghasil, dan tanggung jawab pemrintah yang memberi izin produksi, tapi menjadi tanggung jawab semua pihak, semua bangsa dan semua negara.
Jikalau di suatu negara suatu jenis pestisida sudah diteliti, dinyatakan berbahaya dan dilarang untuk dipergunakan, semestinya semua Negara dunia juga harus mengerti akan hal itu dan ikut melaksanakannya. Bersikap mendua dalam mengambil langkah kiranya kurang membantu. pemakaian pestisida dilarang tetapi tetap diproduksi dan bahkan diekspor kenegara tetangga.
Setiap usaha pembrantasan harus melibatkan semua pihak dan bersifat menyeluruh, kalau diharapkan berhasil. Mudah-mudahan di masa mendatang kasus-kasus akibat pemakaian atau produksi pestisida mulai mengecil atau bahkan hilang sama sekali. Meskipun sulit, kita semua berjuang agar risiko bagi lingkungan itu makin diperkecil.
B. Penanganan yang Harus Dilakukan
Pencemaran tanah juga dapat memberikan dampak terhadap ekosistem. Perubahan kimiawi tanah yang radikal dapat timbul dari adanya bahan kimia beracun/berbahaya bahkan pada dosis yang rendah sekalipun. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan metabolisme dari mikroorganisme endemik dan antropoda yang hidup di lingkungan tanah tersebut. Akibatnya bahkan dapat memusnahkan beberapa spesies primer dari rantai makanan, yang dapat memberi akibat yang besar terhadap predator atau tingkatan lain dari rantai makanan tersebut. Bahkan jika efek kimia pada bentuk kehidupan terbawah tersebut rendah, bagian bawah piramida makanan dapat menelan bahan kimia asing yang lama-kelamaan akan terkonsentrasi pada makhluk-makhluk penghuni piramida atas. Banyak dari efek-efek ini terlihat pada saat ini, seperti konsentrasi DDT pada burung menyebabkan rapuhnya cangkang telur, meningkatnya tingkat Kematian anakan dan kemungkinan hilangnya spesies tersebut.
Dampak pada pertanian terutama perubahan metabolisme tanaman yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan hasil pertanian. Hal ini dapat menyebabkan dampak lanjutan pada konservasi tanaman di mana tanaman tidak mampu menahan lapisan tanah dari erosi. Beberapa bahan pencemar ini memiliki waktu paruh yang panjang dan pada kasus lain bahan-bahan kimia derivatif akan terbentuk dari bahan pencemar tanah utama.
Olehnya itu ada beberapa langkah penanganan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran tanah. Diantaranya:
• Remidiasi
Remediasi adalah kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi.
Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.
• Bioremediasi
Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air)
DAFTAR PUSTAKA
Makalah Pencemaran Tanah « Son_Earth’s Zone The Last Geolog in the World.htm.
Soekarto. S. T. 1985. Penelitian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhatara Karya Aksara, Jakarta. 121 hal.
Wikipedia. 2007. Pencemaran Tanah (On-line). http://id.wikipedia.org/wiki/pencemaran_tanah. diakses 26 Desember 2007.
Bachri, Moch. 1995. Geologi Lingkungan. CV. Aksara, Malang.
Kusno S, 1992, Pencegahan Pencemaran Pupuk dan pestisida. Jakarta : Penerbit Swadaya.
Ekha Isuasta,1988, Dilema Pestisida. Yogyakarta : Kanisius .
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lngkungan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfingsi lagi sesuai dengan peruntukannya (UU Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982). Pencemaran dapat timbul sebagai akibat kegiatan manusia ataupun disebabkan oleh alam (misal gunung meletus, gas beracun). Ilmu lingkungan biasanya membahas pencemaran yang disebabkan oleh aktivitas manusia, yang dapat dicegah dan dikendalikan. Karena kegiatan manusia, pencermaran lingkungan pasti terjadi. Pencemaran lingkungan tersebut tidak dapat dihindari. Yang dapat dilakukan adalah mengurangi pencemaran, mengendalikan pencemaran, dan meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya agar tidak mencemari lingkngan.
B. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan penyusunan makalah ini, antara lain yaitu :
• Sebagai bahan kajian para mahasiswa mengenai dampak terhadap pencemaran lingkungan terutama pencemaran tanah yang diakibatkan oleh kegiatan pertanian.
• Sebagai cara untuk mencari berbagai cara untuk menanggulangi dampak pencemaran yang sedang dikaji.
• Sebagai metode pengumpulan data tentang pencemaran lingkungan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pestisida dan Pencemaran Tanah
Kita semua tahu Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya alamnya. Salah satu kekayaan tersebut, Indonesia memiliki tanah yang sangat subur karena berada di kawasan yang umurnya masih muda, sehingga di dalamnya banyak terdapat gunung-gunung berapi yang mampu mengembalikan permukaan muda kembali yang kaya akan unsur hara.
Tanah merupakan tempat kehidupan mikroorganisme yang secara makro menguntungkan bagi mahkluk hidup lainnya, termasuk manusia. Mikroorganisme yang menghuni tanah dapat dikelompokkan menjadi bakteri, fungi, aktinomisetes, alga, dan protozoa. Jumlah dan jenis mikroorganisme tanah dipengaruhi oleh perubahan lingkungan.
Namun seiring berjalannya waktu, kesuburan yang dimiliki oleh tanah Indonesia banyak yang digunakan sesuai aturan yang berlaku tanpa memperhatikan dampak jangka panjang yang dihasilkan dari pengolahan tanah tersebut. Dengan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, semakin tinggi pula daya saing untuk mencapai tingkat kemudahan dalam setiap aktifitas hidupnya sehari-hari. Satu hal vital yang tidak luput dari proses pengaplikasian pengetahuan memberikan dampak besar terhadap kegiatan pertanian tanah air yang notabene merupakan sumber pencaharian terbesar sebagian masyarakat negara agraris ini. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dengan waktu yang seefisien mungkin dalam kegiatan pertanian maka diwujudkanlah hal tersebut dengan penggunaan pestisida selama aktifitas pertanian tersebut berlangsung.
Untuk memenuhi perkembangan ekonomi yang saat ini semakin meningkat, maka sangat dibutuhkannya Ilmu pengetahuan mengenai pupuk dan pestisida. Karena menyangkut hal-hal tentang pertanian dan perkebunan yang merupakan aspek utama dalam perekonomian Negara Indonesia yang beriklim tropis.
Penggunaan pestisida sintetis pada pertanian merupakan dilema. Di satu sisi sangat dibutuhkan dalam rangka penyediaan pangan, di sisi lain tanpa disadari mengakibatkan berbagai dampak negatif, baik terhadap manusia, hewan mikroba maupun lingkungan. Pemakaian pestisida haruslah sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundangan yang berlaku. Penggunaannya haruslah diperuntukkan membasmi organisme pengganggu tanaman secara selektif dan seminimal mungkin merugikan organisme dan target.
Belum banyak disadari hingga saat ini bahwa pemanfaatan bahan-bahan agrokimia yang berlebihan untuk menggenjot produksi menyebabkan kerusakan lingkungan dan hilangnya lapisan tanah yang mengandung nutrisi. Di samping itu, kualitas produksi yang dihasilkan pun akan menurun. Di Indonesia polusi tanah ini merupakan masalah yang harus dihadapi. Pemakaian pupuk dan pestisida dalam jumlah yang besar menimbulkan pencemaran bagi tanah dan air tanah dengan kadar racun yang beraneka ragam. Degradasi tanah pertanian sudah makin parah dan dengan sudah mengendapnya pestisida maupun bahan agrokimia lainnya dalam waktu yang cukup lama. Padahal, untuk mengembalikan nutrisinya tanah memerlukan waktu ratusan tahun, sedangkan untuk merusaknya hanya perlu beberapa tahun saja. Hal ini terlihat dari menurunnya produktivitas karena hilangnya kemampuan tanah untuk memproduksi nutrisi.
Ada beberapa pengaruh negatif lainnya pemakaian pestisida sintetis secara tidak sesuai. Pertama, pencemaran air dan tanah yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap manusia dan makhluk lainnya dalam bentuk makanan dan minuman yang tercemar. Kedua, matinya musuh alami dari hama maupun patogen dan akan menimbulkan resurgensi, yaitu serangan hama yang jauh lebih berat dari sebelumnya. Ketiga, kemungkinan terjadinya serangan hama sekunder. Contohnya: penyemprotan insektisida sintetis secara rutin untuk mengendalikan ulat grayak (hama primer) dapat membunuh serangga lain seperti walang sembah yang merupakan predator kutu daun (hama sekunder). Akibatnya setelah ulat grayak dapat dikendalikan, kemungkinan besar tanaman akan diserang oleh kutu daun. Keempat, kematian serangga berguna dan menguntungkan seperti lebah yang sangat serbaguna untuk penyerbukan. Kelima, timbulnya kekebalan/resistensi hama maupun patogen terhadap pestisida sintetis. Berdasarkan pertimbangan tersebut, setiap rencana penggunaan pestisida sintetis hendaknya dipertimbangkan secara seksama tentang cara penggunaan yang paling aman, di satu sisi efektif terhadap sasaran, di sisi yang lain aman bagi pemakai maupun lingkungan.
Sebenarnya tidak semua jenis insekta, cacing (nematode) dan lain-lain merupakan hama dan penyakit bagi tanaman, akan tetapi racun serangga telah membunuhnya. Tetapi makhluk-makhluk kecil ini sangat diperlukan untuk kesuburan tanah selanjutnya. Apabila penyemprotan dilakukan secara berlebihan atau takaran yang dipakai terlalu banyak, maka yang akan terjadi adalah kerugian. Tanah disekitar tanaman akan terkena pencemaran pestisida. Akibatnya makhluk-makhluk kecil itu banyak yang ikut terbasmi, sehingga kesuburan tanah menjadi rusak karenanya. Bukan tidak mungkin tragedi kegersangan dan kekeringan terjadi.
Dan akibat yang paling parah, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pestisida dari tahun ke tahun menurun.Dunia pertanian modern adalah dunia mitos keberhasilan modernitas. Keberhasilan diukur dari berapa banyaknya hasil panen yang dihasilkan. Semakin banyak, semakin dianggap maju. Di Indonesia, penggunaan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an.
Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah.Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah.
Namun berakibat:
1. Berbagai organisme penyubur tanah musnah
2. Kesuburan tanah merosot/tandus
3. Tanah mengandung residu (endapan) pestisida
4. Hasil pertanian mengandung residu pestisida
5. Keseimbangan ekosistem rusak; dan
6. Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama.
Apabila pestisida dipakai dalam batas-batas kewajaran sesuai dengan petunjuk penggunaan kiranya merupakan tindakan yang bisa memperkecil lingkup risiko yang harus ditanggung manusia dan alam. Pemakaian pestisida secara membabi buta bisa mengundang bencana.
Oleh karena itu masalah pestisida menuntut perhatian semua pihak, tidak hanya para pejabat, tidak hanya sipemakai jasa. Kita semua memikul tanggung jawab bersama atas lingkungan hidup kita sendiri. Pestisida bukan hanya menjadi tangung jawab pabrik panghasil, dan tanggung jawab pemrintah yang memberi izin produksi, tapi menjadi tanggung jawab semua pihak, semua bangsa dan semua negara.
Jikalau di suatu negara suatu jenis pestisida sudah diteliti, dinyatakan berbahaya dan dilarang untuk dipergunakan, semestinya semua Negara dunia juga harus mengerti akan hal itu dan ikut melaksanakannya. Bersikap mendua dalam mengambil langkah kiranya kurang membantu. pemakaian pestisida dilarang tetapi tetap diproduksi dan bahkan diekspor kenegara tetangga.
Setiap usaha pembrantasan harus melibatkan semua pihak dan bersifat menyeluruh, kalau diharapkan berhasil. Mudah-mudahan di masa mendatang kasus-kasus akibat pemakaian atau produksi pestisida mulai mengecil atau bahkan hilang sama sekali. Meskipun sulit, kita semua berjuang agar risiko bagi lingkungan itu makin diperkecil.
B. Penanganan yang Harus Dilakukan
Pencemaran tanah juga dapat memberikan dampak terhadap ekosistem. Perubahan kimiawi tanah yang radikal dapat timbul dari adanya bahan kimia beracun/berbahaya bahkan pada dosis yang rendah sekalipun. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan metabolisme dari mikroorganisme endemik dan antropoda yang hidup di lingkungan tanah tersebut. Akibatnya bahkan dapat memusnahkan beberapa spesies primer dari rantai makanan, yang dapat memberi akibat yang besar terhadap predator atau tingkatan lain dari rantai makanan tersebut. Bahkan jika efek kimia pada bentuk kehidupan terbawah tersebut rendah, bagian bawah piramida makanan dapat menelan bahan kimia asing yang lama-kelamaan akan terkonsentrasi pada makhluk-makhluk penghuni piramida atas. Banyak dari efek-efek ini terlihat pada saat ini, seperti konsentrasi DDT pada burung menyebabkan rapuhnya cangkang telur, meningkatnya tingkat Kematian anakan dan kemungkinan hilangnya spesies tersebut.
Dampak pada pertanian terutama perubahan metabolisme tanaman yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan hasil pertanian. Hal ini dapat menyebabkan dampak lanjutan pada konservasi tanaman di mana tanaman tidak mampu menahan lapisan tanah dari erosi. Beberapa bahan pencemar ini memiliki waktu paruh yang panjang dan pada kasus lain bahan-bahan kimia derivatif akan terbentuk dari bahan pencemar tanah utama.
Olehnya itu ada beberapa langkah penanganan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran tanah. Diantaranya:
• Remidiasi
Remediasi adalah kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi.
Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.
• Bioremediasi
Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air)
DAFTAR PUSTAKA
Makalah Pencemaran Tanah « Son_Earth’s Zone The Last Geolog in the World.htm.
Soekarto. S. T. 1985. Penelitian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhatara Karya Aksara, Jakarta. 121 hal.
Wikipedia. 2007. Pencemaran Tanah (On-line). http://id.wikipedia.org/wiki/pencemaran_tanah. diakses 26 Desember 2007.
Bachri, Moch. 1995. Geologi Lingkungan. CV. Aksara, Malang.
Kusno S, 1992, Pencegahan Pencemaran Pupuk dan pestisida. Jakarta : Penerbit Swadaya.
Ekha Isuasta,1988, Dilema Pestisida. Yogyakarta : Kanisius .
Minggu, 02 Mei 2010
Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat untuk Bioremediasi Tanah
Bekas Tambang Batubara
PENDAHULUAN
Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam
industri batubara dan mineral dunia. Tahun 2005 Indonesia
menduduki peringkat ke-2 sebagai negara pengekspor
batubara uap. Untuk pertambangan mineral, Indonesia
merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2, tembaga
peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4 dan emas peringkat ke-8
dunia (Gautama, 2007). Namun demikian, pertambangan
selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, sebagai
sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang
sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran sudah tidak
diragukan lagi bahwa sektor ini merupakan salah satu tulang
punggung pendapatan negara selama bertahun-tahun.
Sebagai perusak lingkungan, praktek pertambangan terbuka
(open pit mining) yang paling banyak diterapkan pada
penambangan batubara dapat mengubah iklim mikro dan
tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit batubara
disingkirkan.
Permasalahan yang paling berat akibat penambangan
terbuka adalah terjadinya fenomena acid mine drainage (AMD)
atau acid rock drainage (ARD) akibat teroksidasinya mineral
bersulfur (Untung, 1993) dengan ditandai berubahnya warna
air menjadi merah jingga. AMD akan memberikan
serangkaian dampak yang saling berkaitan, yaitu menurunnya
pH, ketersediaan dan keseimbangan unsur hara dalam tanah
terganggu, serta kelarutan unsur-unsur mikro yang umumnya
merupakan unsur logam meningkat (Marschner, 1995; Havlin
et al., 1999). Hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan
bahwa kandungan sulfat pada tanah bekas tambang batubara
PT. Bukit Asam di Sumatera Selatan mencapai 60.000 ppm,
pH 2,8 dan kandungan logam-logam jauh di atas ambang
batas untuk air bersih. Kualitas lingkungan perairan yang
demikian dapat mengganggu kesehatan manusia dan
kehidupan lainnya. Disamping itu, kondisi tanah yang
demikian degraded, mengakibatkan kegiatan revegetasi
memerlukan biaya yang mahal.
Dengan demikian masalah yang harus diatasi terlebih
dahulu dalam mengendalikan AMD adalah memperbaiki
kondisi tanah. Salah satu metode yang ramah lingkungan
adalah bioremediasi, yaitu suatu proses dengan menggunakan
mikroorganisme, fungi, tanaman hijau atau ensim yang
dihasilkan untuk mengembalikan kondisi lingkungan dengan
cara mengeliminasi kontaminan (Wilkipedia, 2006). Kelompok
mikrobaa yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki
kualitas tanah bekas tambang batubara adalah bakteri
pereduksi sulfat (BPS). Dalam aktivitas metabolismenya BPS
dapat mereduksi sulfat menjadi H2S. Gas ini akan segera
berikatan dengan logam-logam yang banyak terdapat pada
lahan bekas tambang dan dipresipitasikan dalam bentuk
logam sulfida yang reduktif (Hards and Higgins, 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan BPS
yang diisolasi dari limbah industri kertas untuk menurunkan
kadar sulfat pada lahan bekas tambang batubara.
BAHAN DAN METODE
Bakteri pereduksi sulfat (BPS) diisolasi dari limbah
industri kertas (sludge) PT. Indah Kiat Pulp and Paper di
Riau sedangkan tanah bekas tambang batubara diambil dari PT. Bukit Asam di Sumatra Selatan. Bakteri diisolasi
pada media Postgate (Atlas and Park, 1993) yang
mengandung (g/l) Na laktat (3,5), Mg.SO4 (2,0), NH4Cl
(0,2), KH2PO4 (0,5), FeSO4. 7 H2O (0,5) dan Agar (16,0)
dan pH 4 kemudian disterilkan pada suhu 121?C tekanan 1
atmosfir selama 15 menit. Pertumbuhan BPS ditandai
dengan timbulnya koloni berwarna coklat tua sampai hitam
pada dasar tabung.
Uji aktivitas bakteri pereduksi sulfat pada media Postgate
cair
Isolat BPS yang digunakan pada penelitian ini
merupakan hasil seleksi berdasarkan kecepatan
tumbuhnya (Widyati, 2003). Komposisi isolat yang
digunakan merupakan campuran 4 isolat yang berdasarkan
identifikasi awal keempatnya termasuk genus Desulfovibrio
(Widyati, 2006). Masing-masing isolat dipelihara pada
media Postgate.
Masing-masing isolat murni BPS tersebut (0,25 ml)
diinokulasi ke media Postgate cair yang diperkaya dengan
larutan asam sulfat 2 N sebanyak 5% (v/v) jika populasi
telah mencapai 105 cfu/ml media. Kultur diinkubasi dalam
tabung ulir volume 25 ml sampai penuh. Percobaan
dilakukan dalam rancangan acak lengkap dengan 3 kali
ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 3 tabung ulir.
Setiap lima hari sampai hari keduapuluh dilakukan
pengukuran sulfat. Sebagai kontrol adalah perlakuan
media postgate B yang diperkaya dengan larutan asam
sulfat 2 N sebanyak 5% (v/v) tetapi tidak diinokulasi
dengan BPS.
Uji aktivitas bakteri pereduksi sulfat untuk bioremediasi
tanah bekas tambang batubara
Komposisi bakteri yang digunakan pada percobaan ini
sama dengan pada percobaan uji BPS pada media
Postgate cair. Sebelum diinokulasikan pada tanah bekas
tambang batubara, biakan BPS sebanyak 1% dicampurkan
pada bahan organik steril kemudian diinkubasi selama 4
hari. Setelah bakteri tumbuh yang ditandai dengan
terbentuknya gelembung dipermukaan bahan organik
segera dimasukkan ke dalam tanah bekas tambang
batubara dengan perbandingan 1 : 3 (v/v). Selanjutnya
tanah ditambah dengan air steril sampai jenuh (berbentuk
pasta/lumpur). Percobaan dilakukan dalam rancangan
acak lengkap dengan 3 kali ulangan, masing-masing
ulangan terdiri atas 5 ember. Sebagai kontrol diberikan
tanah bekas tambang batubara yang diberi bahan organik
steril dan dilumpurkan. Setiap 5 hari sampai hari ke-20
dilakukan pengukuran sulfat, pH dan Eh tanah. Untuk
mengetahui pertumbuhan BPS setiap 5 hari selama 20 hari
pada perlakuan BPS dilakukan re-isolasi pada media
Postgate agar kemudian dihitung jumlah koloni yang
tumbuh. Efisiensi bioremediasi dihitung untuk mengetahui
berapa persen polutan yang dapat diturunkan selama
perlakuan. Efisiensi dihitung dengan rumus Widyati (2006),
sebagai berikut:
1. Efisiensi masing-masing perlakuan
(konsentrasi sulfat awal) – (konsentrasi sulfat akhir) x 100%
(konsentrasi awal)
2. Efisiensi perlakuan terhadap kontrol dihitung dengan
rumus:
(kons. sulfat akhir kontrol) – (kons. sulfat akhir perlakuan) x100%
(konsentrasi sulfat akhir kontrol)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pada perlakuan
yang tidak diinokulasi dengan BPS konsentrasi sulfat dalam
larutan tersebut relatif tidak mengalami perubahan (Gambar
1). Sedangkan pada perlakuan yang diinokulasi dengan
BPS terjadi penurunan dari konsentrasi sulfat sebesar
48.400 ppm pada hari ke-0 menjadi 9.300 ppm pada hari
ke-20 setelah inkubasi. Pada percobaan ini BPS mulai
menurunkan sulfat setelah hari ke-5 inkubasi.
Isolat murni BPS yang diisolasi dari limbah industri
kertas dapat mereduksi sulfat yang ditambahkan ke dalam
media Postgate (Gambar 1). Penurunan tersebut apabila
dihitung dengan rumus efisiensi (Widyati, 2006) didapatkan
nilai efisiensi sebesar 83,88%, sedangkan kontrol yang
tidak diinokulasi dengan BPS hanya mengalami penurunan
dengan efisiensi sebesar 0,81% dalam waktu 20 hari.
Penurunan konsentrasi sulfat pada penelitian ini karena
BPS dapat menggunakan sulfat sebagai akseptor elektron
untuk aktivitas metabolismenya (Higgins et al., 2003).
Karena sulfat menerima elektron maka senyawa ini akan
mengalami reduksi menjadi sulfida sehingga
konsentrasinya dalam kultur tersebut mengalami
penurunan.
Ujicoba pemanfaatan BPS juga dilakukan untuk
menurunkan kandungan sulfat pada tanah bekas tambang
batubara. Hasil pengukuran perubahan kadar sulfat pada
tanah bekas tambang batubara oleh aktivitas BPS
ditunjukkan pada Gambar 2. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa perlakuan bioremediasi dengan BPS
dapat menurunkan konsentrasi sulfat dalam tanah bekas
tambang batubara secara signifikan (P<0,05), dengan
efisiensi 91,28% dibanding kontrol.
Dalam melakukan reduksi sulfat, BPS menggunakan
sulfat sebagai sumber energi yaitu sebagai akseptor
elektron dan menggunakan bahan organik sebagai sumber
karbon (C). Karbon tersebut berperan selain sebagai donor
elekton dalam metabolisme juga merupakan bahan
penyusun selnya (Groudev et al., 2001). Sedangkan
menurut Djurle (2004) BPS menggunakan donor elektron
H2 dan sumber C (CO2) yang dapat diperoleh dari bahan
organik. Reaksi reduksi sulfat oleh BPS menurut Van
Houten (2003) dalam Djurle (2004) adalah sebagai berikut:
SO4
2- + H2 + 2 H+ ? H2S + 4H2O
Penurunan yang terjadi pada perlakuan kontrol
ini karena pada perlakuan ini ke dalam tanah bekas
tambang batubara ditambahkan bahan organik dan
ditambahkan air sampai jenuh. Penjenuhan air
mengakibatkan tanah menjadi anaerob yang ditandai
dengan perubahan potensial redoks (Eh) menjadi negatif
(Gambar 3). Penurunan Eh menunjukkan adanya
perubahan kondisi lingkungan dari aerob (positif) menjadi
anaerob (negatif) karena oksigen yang mengisi pori-pori
tanah terdesak dan digantikan oleh air. Pada kondisi
anaerob bahan organik akan berperan sebagai donor
elektron (Groudev et al., 2001). Ketika sulfat menerima
elektron dari bahan organik maka akan mengalami reduksi
membentuk senyawa sulfida seperti yang digambarkan oleh
Foth (1990) dalam persamaan reaksi sebagai berikut:
SO4
2- + H2O + 2 e- ? SO3
2- + 2 OHSO3
2- + H2O + 6 e- ? S2- + 6 OHMenurunnya
konsentrasi sulfat pada perlakuan kontrol
terjadi karena dalam kondisi anaerob akseptor elektron
yang pada kondisi aerob dilakukan oleh oksigen bebas
akan digantikan oleh molekul lain (Foth, 1990), seperti nitrat
dan sulfat (Foth, 1990; Groudev et al., 2001). Pada
penelitian ini yang berperan sebagai akseptor elektron
adalah sulfat yang konsentrasinya pada tanah bekas
tambang batubara berkisar antara 32.000 – 60.000 ppm
(Widyati 2006).
Pada penelitian ini, penurunan konsentrasi sulfat
(termasuk asam kuat) akan meningkatkan pH tanah
(Gambar 4). Hal ini terjadi karena beberapa proses yang
saling berkaitan, yaitu karena penggenangan, penambahan
bahan organik dan aktivitas BPS. Pada proses
penggenangan seperti yang ditunjukkan oleh reaksi (Foth,
1990) dilepaskan ion-ion hidroksil yang akan mengikat ion
H+. Disamping itu peningkatan pH juga terjadi karena
pemberian bahan organik. Bahan organik mempunyai
buffering capacity sehingga dapat meningkatkan atau
menurunkan pH lingkungannya (Stevenson, 1994).
Apabila dibandingkan antara perlakuan kontrol dengan
perlakuan BPS, meskipun kedua perlakuan memberikan
suasana anaerob yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
(Gambar 3), tetapi memberikan hasil yang berbeda nyata
dalam menurunkan sulfat dan meningkatkan pH tanah
bekas tambang batubara. Perlakuan BPS menurunkan
sulfat dan meningkatkan pH secara signifikan sedangkan
perlakuan kontrol tidak. Perlakuan BPS dapat mereduksi
sulfat tanah >80% (Gambar 2) sehingga dapat
meningkatkan pH mendekati netral (Gambar 5). Hal ini
menunjukkan bahwa reaksi reduksi sulfat yang dikatalis
oleh BPS lebih efisien daripada proses reduksi secara kimia
karena penjenuhan dan penambahan bahan organik.
Namun demikian, penambahan bahan organik dan
penjenuhan tetap diperlukan karena menurut Alexander
(1977) bahwa reaksi reduksi sulfat oleh BPS menjadi
sulfida dapat ditingkatkan melalui penambahan kadar air
dan penambahan bahan organik tanah. Proses ini
memerlukan Eh yang rendah (anaerob) dan umumnya
dibatasi oleh pH di atas 6.
Untuk menguji apakah BPS yang diinokulasikan dapat
hidup dan berperan aktif dalam proses bioremediasi tanah
bekas tambang batubara, maka setiap 5 hari selama 20
hari dilakukan re-isolasi BPS. Hasil re-isolasi ditunjukkan
pada Gambar 5, dimana BPS yang diinokulasikan dapat
tumbuh dengan baik, sehingga pada hari ke-15 jumlahnya
meningkat 195 kali lipat. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Alexander (1977), bahwa ketika terjadi defisiensi
O2 karena penggenangan (flooding) maka akan
meningkatkan populasi BPS ribuan kali lipat dalam waktu
kurang lebih 2 minggu. Populasi mikroba ini berkembang
menjadi 23.000% dalam waktu 20 hari. Dalam tanah
bekas tambang batubara banyak mengandung sulfat yang
sangat diperlukan oleh BPS sebagai sumber energi untuk
menerima elektron selama aktivitas metabolik dalam
selnya. Karena menurut Hards and Higgins (2004), bahwa
BPS dalam hidupnya memerlukan sulfat sebagai akseptor
elektron dan bahan organik sebagai sumber C. Sehingga
ketika mereka dimasukkan ke dalam lingkungan tanah
bekas tambang batubara yang banyak mengandung sulfat,
sudah barang tentu dapat meningkatkan aktivitas
metaboliknya dan mengakibatkan populasinya berkembang
baik.
Menurut Alexander (1977) BPS terdiri dari 2 genus,
yaitu Desulfovibrio dan Desulfotomaculum. Desulfovibrio
hidup pada kisaran pH 6 sampai netral, sedangkan
Desulfotomaculum merupakan kelompok BPS yang termofil
(menyukai suhu yang tinggi). Dari hasil penelitian
lingkungan tanah bekas tambang batubara setelah diberi
perlakuan bioremediasi mempunyai pH sekitar 6 (Gambar
5) dan suhunya berkisar pada suhu ruangan (25°C – 30°C)
tidak termofil (>55°C) sehingga kuat dugaan bahwa BPS
yang ditemukan sangat dekat sifat-sifatnya dengan genus
Desulfovibrio. Sedangkan menurut Feio et al. (1998) media
Postgate yang digunakan merupakan media selektif yang
paling cocok untuk mengisolasi BPS dari genus
Desulfovibrio.
Kemampuan BPS dalam menurunkan kandungan sulfat
sehingga dapat meningkatkan pH tanah bekas tambang
batubara ini sangat bermanfaat pada kegiatan rehabilitasi
lahan bekas tambang batubara. Peningkatan pH yang
dicapai hampir mendekati netral (6,66) sehingga sangat
baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman revegetasi
maupun kehidupan biota lainnya.
KESIMPULAN
Bakteri pereduksi sulfat (BPS) efektif digunakan dalam
proses bioremediasi tanah bekas tambang batubara
dengan waktu inkubasi 20 hari. Aktivitas BPS dapat
menurunkan konsentrasi sulfat pada tanah bekas tambang
batubara dengan efisiensi 89,76% dalam waktu inkubasi 20
hari. Penurunan sulfat tersebut dapat meningkatkan pH
tanah bekas tambang batubara dari 4,15 menjadi 6,66
dalam waktu yang sama. Nilai pH tersebut merupakan pH
yang ideal untuk pertumbuhan sebagian besar tanaman,
sehingga bioremediasi tanah dengan BPS akan sangat
membantu kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang
batubara.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. 2nd ed. John Willey
& Son. New York
Atlas, M.R. and L.C. Parks. 1993. Handbook of Microbiological Media.
CRC Press. Boca Raton.
Djurle, C. 2004. Development of a Model for Simulation of Biological
Sulphate Reduction with Hidrogen as Energy Source. Master Thesis.
Department of Chemical Engineering. Lund Institute of Technology. The
Netherlands.
Feio, M.J., H.B. Beech, M. Carepo, J.M. Lopes, C.W.S. Cheung, R. Franco,
J. Guezennec,J.R. Smith, J.I. Mitchell, J.J.G. Moura and A.R. Lino.
1998. Isolation and characterization of a novel sulphate-reducing
bacterium of the Desulfovibrio genus. Anaerobe (4): 117 – 130.
Foth, H.D. 1990. Fundamentals of Soil Science. 8th ed. John Willey&son.
New York.
Gautama RS. 2007. Pidato Guru Besar ITB: Pengelolaan air asam tambang:
aspek penting menuju pertambangan berwawasan lingkungan.
www.itb.ac.id/favicon.ico[20 Mei 2007]
Groudev, S.N., K. Komnitsas, I.I. Spasova and I. Paspaliaris. 2001.
Treatment of AMD by a natural wetland. Minerals Engineering 12: 261-
270.
Hards, B.C. and J.P. Higgins. 2004. Bioremediation of Acid Rock
Drainage Using SRB. Jacques Whit Environment Limited. Ontario.
Havlin, J.L., J.B. Beaton, S.L. Tisdale SL and W.L. Nelson. 1999. Soil
Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management.
Prentice Hall. New Jersey.
Higgins, J.P., B.C. Hards and A.I. Mattes. 2003. Biremediation of Acid
Rock Drainage Using Sulfate Reducing Bacteria.
www.Jacqueswhitford.com/site_jw/ media/ 1_4SC_
sudburrypapers2003mayHiggins10_8_pdf [16 Juli 2004]
Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd ed. Academic
Press. London.
Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition,
Reaction. John Willey&son. New York.
Untung, S.R. 1993. Dampak Air Asam Tambang dan Upaya
Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tambang Batubara dan Mineral.
Bandung (Tidak dipublikasikan).
Widyati, E. 2003. Isolasi dan seleksi bakteri pengasimilasi sulfur. Laporan
tahunan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Tidak
dipublikasikan.
Widyati, E. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas tambang Batubara dengan
Sludge Industri Kertas untuk Memacu Revegetasi Lahan. Disertasi
Doktor. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor
www.wilkipedia.com.thefreeencyclopedia/bioremediation.htm. Bioremediation.
[18 Juni 2006]
Bekas Tambang Batubara
PENDAHULUAN
Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam
industri batubara dan mineral dunia. Tahun 2005 Indonesia
menduduki peringkat ke-2 sebagai negara pengekspor
batubara uap. Untuk pertambangan mineral, Indonesia
merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2, tembaga
peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4 dan emas peringkat ke-8
dunia (Gautama, 2007). Namun demikian, pertambangan
selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, sebagai
sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang
sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran sudah tidak
diragukan lagi bahwa sektor ini merupakan salah satu tulang
punggung pendapatan negara selama bertahun-tahun.
Sebagai perusak lingkungan, praktek pertambangan terbuka
(open pit mining) yang paling banyak diterapkan pada
penambangan batubara dapat mengubah iklim mikro dan
tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit batubara
disingkirkan.
Permasalahan yang paling berat akibat penambangan
terbuka adalah terjadinya fenomena acid mine drainage (AMD)
atau acid rock drainage (ARD) akibat teroksidasinya mineral
bersulfur (Untung, 1993) dengan ditandai berubahnya warna
air menjadi merah jingga. AMD akan memberikan
serangkaian dampak yang saling berkaitan, yaitu menurunnya
pH, ketersediaan dan keseimbangan unsur hara dalam tanah
terganggu, serta kelarutan unsur-unsur mikro yang umumnya
merupakan unsur logam meningkat (Marschner, 1995; Havlin
et al., 1999). Hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan
bahwa kandungan sulfat pada tanah bekas tambang batubara
PT. Bukit Asam di Sumatera Selatan mencapai 60.000 ppm,
pH 2,8 dan kandungan logam-logam jauh di atas ambang
batas untuk air bersih. Kualitas lingkungan perairan yang
demikian dapat mengganggu kesehatan manusia dan
kehidupan lainnya. Disamping itu, kondisi tanah yang
demikian degraded, mengakibatkan kegiatan revegetasi
memerlukan biaya yang mahal.
Dengan demikian masalah yang harus diatasi terlebih
dahulu dalam mengendalikan AMD adalah memperbaiki
kondisi tanah. Salah satu metode yang ramah lingkungan
adalah bioremediasi, yaitu suatu proses dengan menggunakan
mikroorganisme, fungi, tanaman hijau atau ensim yang
dihasilkan untuk mengembalikan kondisi lingkungan dengan
cara mengeliminasi kontaminan (Wilkipedia, 2006). Kelompok
mikrobaa yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki
kualitas tanah bekas tambang batubara adalah bakteri
pereduksi sulfat (BPS). Dalam aktivitas metabolismenya BPS
dapat mereduksi sulfat menjadi H2S. Gas ini akan segera
berikatan dengan logam-logam yang banyak terdapat pada
lahan bekas tambang dan dipresipitasikan dalam bentuk
logam sulfida yang reduktif (Hards and Higgins, 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan BPS
yang diisolasi dari limbah industri kertas untuk menurunkan
kadar sulfat pada lahan bekas tambang batubara.
BAHAN DAN METODE
Bakteri pereduksi sulfat (BPS) diisolasi dari limbah
industri kertas (sludge) PT. Indah Kiat Pulp and Paper di
Riau sedangkan tanah bekas tambang batubara diambil dari PT. Bukit Asam di Sumatra Selatan. Bakteri diisolasi
pada media Postgate (Atlas and Park, 1993) yang
mengandung (g/l) Na laktat (3,5), Mg.SO4 (2,0), NH4Cl
(0,2), KH2PO4 (0,5), FeSO4. 7 H2O (0,5) dan Agar (16,0)
dan pH 4 kemudian disterilkan pada suhu 121?C tekanan 1
atmosfir selama 15 menit. Pertumbuhan BPS ditandai
dengan timbulnya koloni berwarna coklat tua sampai hitam
pada dasar tabung.
Uji aktivitas bakteri pereduksi sulfat pada media Postgate
cair
Isolat BPS yang digunakan pada penelitian ini
merupakan hasil seleksi berdasarkan kecepatan
tumbuhnya (Widyati, 2003). Komposisi isolat yang
digunakan merupakan campuran 4 isolat yang berdasarkan
identifikasi awal keempatnya termasuk genus Desulfovibrio
(Widyati, 2006). Masing-masing isolat dipelihara pada
media Postgate.
Masing-masing isolat murni BPS tersebut (0,25 ml)
diinokulasi ke media Postgate cair yang diperkaya dengan
larutan asam sulfat 2 N sebanyak 5% (v/v) jika populasi
telah mencapai 105 cfu/ml media. Kultur diinkubasi dalam
tabung ulir volume 25 ml sampai penuh. Percobaan
dilakukan dalam rancangan acak lengkap dengan 3 kali
ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 3 tabung ulir.
Setiap lima hari sampai hari keduapuluh dilakukan
pengukuran sulfat. Sebagai kontrol adalah perlakuan
media postgate B yang diperkaya dengan larutan asam
sulfat 2 N sebanyak 5% (v/v) tetapi tidak diinokulasi
dengan BPS.
Uji aktivitas bakteri pereduksi sulfat untuk bioremediasi
tanah bekas tambang batubara
Komposisi bakteri yang digunakan pada percobaan ini
sama dengan pada percobaan uji BPS pada media
Postgate cair. Sebelum diinokulasikan pada tanah bekas
tambang batubara, biakan BPS sebanyak 1% dicampurkan
pada bahan organik steril kemudian diinkubasi selama 4
hari. Setelah bakteri tumbuh yang ditandai dengan
terbentuknya gelembung dipermukaan bahan organik
segera dimasukkan ke dalam tanah bekas tambang
batubara dengan perbandingan 1 : 3 (v/v). Selanjutnya
tanah ditambah dengan air steril sampai jenuh (berbentuk
pasta/lumpur). Percobaan dilakukan dalam rancangan
acak lengkap dengan 3 kali ulangan, masing-masing
ulangan terdiri atas 5 ember. Sebagai kontrol diberikan
tanah bekas tambang batubara yang diberi bahan organik
steril dan dilumpurkan. Setiap 5 hari sampai hari ke-20
dilakukan pengukuran sulfat, pH dan Eh tanah. Untuk
mengetahui pertumbuhan BPS setiap 5 hari selama 20 hari
pada perlakuan BPS dilakukan re-isolasi pada media
Postgate agar kemudian dihitung jumlah koloni yang
tumbuh. Efisiensi bioremediasi dihitung untuk mengetahui
berapa persen polutan yang dapat diturunkan selama
perlakuan. Efisiensi dihitung dengan rumus Widyati (2006),
sebagai berikut:
1. Efisiensi masing-masing perlakuan
(konsentrasi sulfat awal) – (konsentrasi sulfat akhir) x 100%
(konsentrasi awal)
2. Efisiensi perlakuan terhadap kontrol dihitung dengan
rumus:
(kons. sulfat akhir kontrol) – (kons. sulfat akhir perlakuan) x100%
(konsentrasi sulfat akhir kontrol)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pada perlakuan
yang tidak diinokulasi dengan BPS konsentrasi sulfat dalam
larutan tersebut relatif tidak mengalami perubahan (Gambar
1). Sedangkan pada perlakuan yang diinokulasi dengan
BPS terjadi penurunan dari konsentrasi sulfat sebesar
48.400 ppm pada hari ke-0 menjadi 9.300 ppm pada hari
ke-20 setelah inkubasi. Pada percobaan ini BPS mulai
menurunkan sulfat setelah hari ke-5 inkubasi.
Isolat murni BPS yang diisolasi dari limbah industri
kertas dapat mereduksi sulfat yang ditambahkan ke dalam
media Postgate (Gambar 1). Penurunan tersebut apabila
dihitung dengan rumus efisiensi (Widyati, 2006) didapatkan
nilai efisiensi sebesar 83,88%, sedangkan kontrol yang
tidak diinokulasi dengan BPS hanya mengalami penurunan
dengan efisiensi sebesar 0,81% dalam waktu 20 hari.
Penurunan konsentrasi sulfat pada penelitian ini karena
BPS dapat menggunakan sulfat sebagai akseptor elektron
untuk aktivitas metabolismenya (Higgins et al., 2003).
Karena sulfat menerima elektron maka senyawa ini akan
mengalami reduksi menjadi sulfida sehingga
konsentrasinya dalam kultur tersebut mengalami
penurunan.
Ujicoba pemanfaatan BPS juga dilakukan untuk
menurunkan kandungan sulfat pada tanah bekas tambang
batubara. Hasil pengukuran perubahan kadar sulfat pada
tanah bekas tambang batubara oleh aktivitas BPS
ditunjukkan pada Gambar 2. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa perlakuan bioremediasi dengan BPS
dapat menurunkan konsentrasi sulfat dalam tanah bekas
tambang batubara secara signifikan (P<0,05), dengan
efisiensi 91,28% dibanding kontrol.
Dalam melakukan reduksi sulfat, BPS menggunakan
sulfat sebagai sumber energi yaitu sebagai akseptor
elektron dan menggunakan bahan organik sebagai sumber
karbon (C). Karbon tersebut berperan selain sebagai donor
elekton dalam metabolisme juga merupakan bahan
penyusun selnya (Groudev et al., 2001). Sedangkan
menurut Djurle (2004) BPS menggunakan donor elektron
H2 dan sumber C (CO2) yang dapat diperoleh dari bahan
organik. Reaksi reduksi sulfat oleh BPS menurut Van
Houten (2003) dalam Djurle (2004) adalah sebagai berikut:
SO4
2- + H2 + 2 H+ ? H2S + 4H2O
Penurunan yang terjadi pada perlakuan kontrol
ini karena pada perlakuan ini ke dalam tanah bekas
tambang batubara ditambahkan bahan organik dan
ditambahkan air sampai jenuh. Penjenuhan air
mengakibatkan tanah menjadi anaerob yang ditandai
dengan perubahan potensial redoks (Eh) menjadi negatif
(Gambar 3). Penurunan Eh menunjukkan adanya
perubahan kondisi lingkungan dari aerob (positif) menjadi
anaerob (negatif) karena oksigen yang mengisi pori-pori
tanah terdesak dan digantikan oleh air. Pada kondisi
anaerob bahan organik akan berperan sebagai donor
elektron (Groudev et al., 2001). Ketika sulfat menerima
elektron dari bahan organik maka akan mengalami reduksi
membentuk senyawa sulfida seperti yang digambarkan oleh
Foth (1990) dalam persamaan reaksi sebagai berikut:
SO4
2- + H2O + 2 e- ? SO3
2- + 2 OHSO3
2- + H2O + 6 e- ? S2- + 6 OHMenurunnya
konsentrasi sulfat pada perlakuan kontrol
terjadi karena dalam kondisi anaerob akseptor elektron
yang pada kondisi aerob dilakukan oleh oksigen bebas
akan digantikan oleh molekul lain (Foth, 1990), seperti nitrat
dan sulfat (Foth, 1990; Groudev et al., 2001). Pada
penelitian ini yang berperan sebagai akseptor elektron
adalah sulfat yang konsentrasinya pada tanah bekas
tambang batubara berkisar antara 32.000 – 60.000 ppm
(Widyati 2006).
Pada penelitian ini, penurunan konsentrasi sulfat
(termasuk asam kuat) akan meningkatkan pH tanah
(Gambar 4). Hal ini terjadi karena beberapa proses yang
saling berkaitan, yaitu karena penggenangan, penambahan
bahan organik dan aktivitas BPS. Pada proses
penggenangan seperti yang ditunjukkan oleh reaksi (Foth,
1990) dilepaskan ion-ion hidroksil yang akan mengikat ion
H+. Disamping itu peningkatan pH juga terjadi karena
pemberian bahan organik. Bahan organik mempunyai
buffering capacity sehingga dapat meningkatkan atau
menurunkan pH lingkungannya (Stevenson, 1994).
Apabila dibandingkan antara perlakuan kontrol dengan
perlakuan BPS, meskipun kedua perlakuan memberikan
suasana anaerob yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
(Gambar 3), tetapi memberikan hasil yang berbeda nyata
dalam menurunkan sulfat dan meningkatkan pH tanah
bekas tambang batubara. Perlakuan BPS menurunkan
sulfat dan meningkatkan pH secara signifikan sedangkan
perlakuan kontrol tidak. Perlakuan BPS dapat mereduksi
sulfat tanah >80% (Gambar 2) sehingga dapat
meningkatkan pH mendekati netral (Gambar 5). Hal ini
menunjukkan bahwa reaksi reduksi sulfat yang dikatalis
oleh BPS lebih efisien daripada proses reduksi secara kimia
karena penjenuhan dan penambahan bahan organik.
Namun demikian, penambahan bahan organik dan
penjenuhan tetap diperlukan karena menurut Alexander
(1977) bahwa reaksi reduksi sulfat oleh BPS menjadi
sulfida dapat ditingkatkan melalui penambahan kadar air
dan penambahan bahan organik tanah. Proses ini
memerlukan Eh yang rendah (anaerob) dan umumnya
dibatasi oleh pH di atas 6.
Untuk menguji apakah BPS yang diinokulasikan dapat
hidup dan berperan aktif dalam proses bioremediasi tanah
bekas tambang batubara, maka setiap 5 hari selama 20
hari dilakukan re-isolasi BPS. Hasil re-isolasi ditunjukkan
pada Gambar 5, dimana BPS yang diinokulasikan dapat
tumbuh dengan baik, sehingga pada hari ke-15 jumlahnya
meningkat 195 kali lipat. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Alexander (1977), bahwa ketika terjadi defisiensi
O2 karena penggenangan (flooding) maka akan
meningkatkan populasi BPS ribuan kali lipat dalam waktu
kurang lebih 2 minggu. Populasi mikroba ini berkembang
menjadi 23.000% dalam waktu 20 hari. Dalam tanah
bekas tambang batubara banyak mengandung sulfat yang
sangat diperlukan oleh BPS sebagai sumber energi untuk
menerima elektron selama aktivitas metabolik dalam
selnya. Karena menurut Hards and Higgins (2004), bahwa
BPS dalam hidupnya memerlukan sulfat sebagai akseptor
elektron dan bahan organik sebagai sumber C. Sehingga
ketika mereka dimasukkan ke dalam lingkungan tanah
bekas tambang batubara yang banyak mengandung sulfat,
sudah barang tentu dapat meningkatkan aktivitas
metaboliknya dan mengakibatkan populasinya berkembang
baik.
Menurut Alexander (1977) BPS terdiri dari 2 genus,
yaitu Desulfovibrio dan Desulfotomaculum. Desulfovibrio
hidup pada kisaran pH 6 sampai netral, sedangkan
Desulfotomaculum merupakan kelompok BPS yang termofil
(menyukai suhu yang tinggi). Dari hasil penelitian
lingkungan tanah bekas tambang batubara setelah diberi
perlakuan bioremediasi mempunyai pH sekitar 6 (Gambar
5) dan suhunya berkisar pada suhu ruangan (25°C – 30°C)
tidak termofil (>55°C) sehingga kuat dugaan bahwa BPS
yang ditemukan sangat dekat sifat-sifatnya dengan genus
Desulfovibrio. Sedangkan menurut Feio et al. (1998) media
Postgate yang digunakan merupakan media selektif yang
paling cocok untuk mengisolasi BPS dari genus
Desulfovibrio.
Kemampuan BPS dalam menurunkan kandungan sulfat
sehingga dapat meningkatkan pH tanah bekas tambang
batubara ini sangat bermanfaat pada kegiatan rehabilitasi
lahan bekas tambang batubara. Peningkatan pH yang
dicapai hampir mendekati netral (6,66) sehingga sangat
baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman revegetasi
maupun kehidupan biota lainnya.
KESIMPULAN
Bakteri pereduksi sulfat (BPS) efektif digunakan dalam
proses bioremediasi tanah bekas tambang batubara
dengan waktu inkubasi 20 hari. Aktivitas BPS dapat
menurunkan konsentrasi sulfat pada tanah bekas tambang
batubara dengan efisiensi 89,76% dalam waktu inkubasi 20
hari. Penurunan sulfat tersebut dapat meningkatkan pH
tanah bekas tambang batubara dari 4,15 menjadi 6,66
dalam waktu yang sama. Nilai pH tersebut merupakan pH
yang ideal untuk pertumbuhan sebagian besar tanaman,
sehingga bioremediasi tanah dengan BPS akan sangat
membantu kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang
batubara.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. 2nd ed. John Willey
& Son. New York
Atlas, M.R. and L.C. Parks. 1993. Handbook of Microbiological Media.
CRC Press. Boca Raton.
Djurle, C. 2004. Development of a Model for Simulation of Biological
Sulphate Reduction with Hidrogen as Energy Source. Master Thesis.
Department of Chemical Engineering. Lund Institute of Technology. The
Netherlands.
Feio, M.J., H.B. Beech, M. Carepo, J.M. Lopes, C.W.S. Cheung, R. Franco,
J. Guezennec,J.R. Smith, J.I. Mitchell, J.J.G. Moura and A.R. Lino.
1998. Isolation and characterization of a novel sulphate-reducing
bacterium of the Desulfovibrio genus. Anaerobe (4): 117 – 130.
Foth, H.D. 1990. Fundamentals of Soil Science. 8th ed. John Willey&son.
New York.
Gautama RS. 2007. Pidato Guru Besar ITB: Pengelolaan air asam tambang:
aspek penting menuju pertambangan berwawasan lingkungan.
www.itb.ac.id/favicon.ico[20 Mei 2007]
Groudev, S.N., K. Komnitsas, I.I. Spasova and I. Paspaliaris. 2001.
Treatment of AMD by a natural wetland. Minerals Engineering 12: 261-
270.
Hards, B.C. and J.P. Higgins. 2004. Bioremediation of Acid Rock
Drainage Using SRB. Jacques Whit Environment Limited. Ontario.
Havlin, J.L., J.B. Beaton, S.L. Tisdale SL and W.L. Nelson. 1999. Soil
Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management.
Prentice Hall. New Jersey.
Higgins, J.P., B.C. Hards and A.I. Mattes. 2003. Biremediation of Acid
Rock Drainage Using Sulfate Reducing Bacteria.
www.Jacqueswhitford.com/site_jw/ media/ 1_4SC_
sudburrypapers2003mayHiggins10_8_pdf [16 Juli 2004]
Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd ed. Academic
Press. London.
Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition,
Reaction. John Willey&son. New York.
Untung, S.R. 1993. Dampak Air Asam Tambang dan Upaya
Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tambang Batubara dan Mineral.
Bandung (Tidak dipublikasikan).
Widyati, E. 2003. Isolasi dan seleksi bakteri pengasimilasi sulfur. Laporan
tahunan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Tidak
dipublikasikan.
Widyati, E. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas tambang Batubara dengan
Sludge Industri Kertas untuk Memacu Revegetasi Lahan. Disertasi
Doktor. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor
www.wilkipedia.com.thefreeencyclopedia/bioremediation.htm. Bioremediation.
[18 Juni 2006]
oh iya brooo, bagi yang blum tau apa sieh yang di bahas para pasukan orange yaitu Ahli2 lingkungan, disini sya akan memberi tau sedikit tentang lingkungan, lets check it out!
Lingkungan
1. Keseimbangan Lingkungan
Definisi lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya.
Komponen lingkungan terdiri dari faktor abiotik (tanah, air, udara, cuaca, suhu) dan faktor biotik (tumbuhan dan hewan, termasuk manusia).
Lingkungan hidup balk faktor biotik maupun abiotik berpengaruh dan dipengaruhi manusia. Segala yang ada pada lingkungan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, karena lingkungan memiliki daya dukung. Daya dukung lingkungannya adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Dalam kondisi alami, lingkungan dengan segala keragaman interaksi yang ada mampu untuk menyeimbangkan keadaannya. Namun tidak tertutup kemungkinan, kondisi demikian dapat berubah oleh campur tangan manusia dengan segala aktivitas pemenuhan kebutuhan yang terkadang melampaui Batas.
Keseimbangan lingkungan secara alami dapat berlangsung karena beberapa hal, yaitu komponen-komponen yang ada terlibat dalam aksi-reaksi dan berperan sesuai kondisi keseimbangan, pemindahan energi (arus energi), dan siklus biogeokimia dapat berlangsung. Keseimbangan lingkungan dapat terganggu bila terjadi perubahan berupa pengurangan fungsi dari komponen atau hilangnya sebagian komponen yang dapat menyebabkan putusnya mata rantai dalam ekosistem. Salah satu faktor penyebab gangguan adalah polusi di samping faktor-faktor yang lain.
2. Polusi
Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982).
Zat atau bahan yang dapat mengakibatkan pencemaran disebut polutan. Syarat-syarat suatu zat disebut polutan bila keberadaannya dapat menyebabkan kerugian terhadap makhluk hidup. Contohnya, karbon dioksida dengan kadar 0,033% di udara berfaedah bagi tumbuhan, tetapi bila lebih tinggi dari 0,033% dapat rnemberikan efek merusak.
Suatu zat dapat disebut polutan apabila:
1. jumlahnya melebihi jumlah
normal
2. berada pada waktu yang tidak
tepat
3. berada pada tempat yang tidak
tepat
Gbr. Lingkungan Dikelilingi Polusi
Sifat polutan adalah:
1. merusak untuk sementara, tetapi bila telah bereaksi dengan zat
lingkungan tidak merusak lagi
2. merusak dalam jangka waktu lama.
Contohnya Pb tidak merusak bila konsentrasinya rendah. Akan tetapi
dalam jangka waktu yang lama, Pb dapat terakumulasi dalam tubuh
sampai tingkat yang merusak.
Macam-macam Pencemaran
Macam-macam pencemaran dapat dibedakan berdasarkan pada tempat terjadinya, macam bahan pencemarnya, dan tingkat pencemaran.
a. Menurut tempat terjadinya
Menurut tempat terjadinya, pencemaran dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu pencemaran udara, air, dan tanah.
1. Pencemaran udara
Pencemar udara dapat berupa gas dan partikel. Contohnya sebagai berikut.
a. Gas HzS. Gas ini bersifat racun, terdapat di kawasan gunung berapi,
bisa juga dihasilkan dari pembakaran minyak bumi dan batu bara.
b. Gas CO dan COz. Karbon monoksida (CO) tidak berwarna dan tidak
berbau, bersifat racun, merupakan hash pembakaran yang tidak
sempurna dari bahan buangan mobil dan mesin letup. Gas COZ dalam
udara murni berjumlah 0,03%. Bila melebihi toleransi dapat meng-
ganggu pernapasan. Selain itu, gas C02 yang terlalu berlebihan di
bumi dapat mengikat panas matahari sehingga suhu bumi panas.
Pemanasan global di bumi akibat C02 disebut juga sebagai efek rumah
kaca.
c. Partikel SOZ dan NO2. Kedua partikel ini bersama dengan partikel cair
membentuk embun, membentuk awan dekat tanah yang dapat
mengganggu pernapasan. Partikel padat, misalnya bakteri, jamur,
virus, bulu, dan tepung sari juga dapat mengganggu kesehatan.
d. Batu bara yang mengandung sulfur melalui pembakaran akan meng-
hasilkan sulfur dioksida. Sulfur dioksida ber$ama dengan udara serta
oksigen dan sinar matahari dapat menghasilkan asam sulfur. Asam ini
membentuk kabut dan suatu saat akan jatuh sebagai hujan yang
disebut hujan asam. Hujan asam dapat menyebabkan gangguan pada
manusia, hewan, maupun tumbuhan. Misalnya gangguan pernapasan,
perubahan morfologi pada daun, batang, dan benih.
Sumber polusi udara lain dapat berasal dari radiasi bahan radioaktif, misalnya, nuklir. Setelah peledakan nuklir, materi radioaktif masuk ke dalam atmosfer dan jatuh di bumi. materi radioaktif ini akan terakumulusi di tanah, air, hewan, tumbuhan, dan juga pada manusia. Efek pencemaran nuklir terhadap makhluk hidup, dalam taraf tertentu, dapat menyebabkan mutasi, berbagai penyakit akibat kelainan gen, dan bahkan kematian.
Pencemaran udara dinyatakan dengan ppm (part per million) yang artinya jumlah cm3 polutan per m3 udara.
2. Pencemaran air
Polusi air dapat disebabkan oleh beberapa jenis pencemar sebagai berikut.
a. Pembuangan limbah industri, sisa insektisida, dan pembuangan
sampah domestik, misalnya, sisa detergen mencemari air. Buangan
industri seperti Pb, Hg, Zn, dan CO, dapat terakumulasi dan bersifat
racun.
b. Sampah organik yang dibusukkan oleh bakteri menyebabkan 02 di air
berkurang sehingga mengganggu aktivitas kehidupan organisme air.
c. Fosfat hasil pembusukan bersama h03 dan pupuk pertanian
terakumulasi dan menyebabkan eutrofikasi, yaitu penimbunan mineral
yang menyebabkan pertumbuhan yang cepat pada alga (Blooming
alga). Akibatnya, tanaman di dalam air tidak dapat berfotosintesis
karena sinar matahari terhalang.
Salah satu bahan pencemar di laut ada lah tumpahan minyak bumi, akibat kecelakaan kapal tanker minyak yang sering terjadi. Banyak organisme akuatik yang mati atau keracunan karenanya. (Untuk membersihkan kawasan tercemar diperlukan koordinasi dari berbagai pihak dan dibutuhkan biaya yang mahal. Bila terlambat penanggulangan-nya, kerugian manusia semakin banyak. Secara ekologis, dapat mengganggu ekosistem laut.
Bila terjadi pencemaran di air, maka terjadi akumulasi zat pencemar pada tubuh organisme air. Akumulasi pencemar ini semakin meningkat pada organisme pemangsa yang lebih besar.
3. Pencemaran tanah
Pencemaran tanah disebabkan oleh beberapa jenis pencemaran berikut ini :
a. sampah-sampah pla.stik yang sukar hancur, botol, karet sintesis,
pecahan kaca, dan kaleng
b. detergen yang bersifat non bio degradable (secara alami sulit
diuraikan)
c. zat kimia dari buangan pertanian, misalnya insektisida.
4. Polusi suara
Polusi suara disebabkan oleh suara bising kendaraan bermotor, kapal terbang, deru mesin pabrik, radio/tape recorder yang berbunyi keras sehingga mengganggu pendengaran.
b. Menurut macam bahan pencemar
Macam bahan pencemar adalah sebagai berikut.
1. Kimiawi; berupa zat radio aktif, logam (Hg, Pb, As, Cd, Cr dan Hi),
pupuk anorganik, pestisida, detergen dan minyak.
2. Biologi; berupa mikroorganisme, misalnya Escherichia coli, Entamoeba
coli, dan Salmonella thyposa.
3. Fisik; berupa kaleng-kaleng, botol, plastik, dan karet.
c. Menurut tingkat pencemaran
Menurut WHO, tingkat pencemaran didasarkan pada kadar zat pencemar dan waktu (lamanya) kontak. Tingkat pencemaran dibedakan menjadi 3, yaitu sebagai berikut :
1. Pencemaran yang mulai mengakibatkan iritasi (gangguan) ringan pada
panca indra dan tubuh serta telah menimbulkan kerusakan pada
ekosistem lain. Misalnya gas buangan kendaraan bermotor yang
menyebabkan mata pedih.
2. Pencemaran yang sudah mengakibatkan reaksi pada faal tubuh dan
menyebabkan sakit yang kronis. Misalnya pencemaran Hg (air raksa)
di Minamata Jepang yang menyebabkan kanker dan lahirnya bayi
cacat.
3. Pencemaran yang kadar zat-zat pencemarnya demikian besarnya
sehingga menimbulkan gangguan dan sakit atau kematian dalam
lingkungan. Misalnya pencemaran nuklir.
2. Parameter Pencemaran
Dengan mengetahui beberapa parameter yang ads pads daerah/kawasan penelitian akan dapat diketahui tingkat pencemaran atau apakah lingkungan itu sudah terkena pencemaran atau belum. Paramaterparameter yang merupakan indikator terjadinya pencemaran adalah sebagai berikut :
a. Parameter kimia
Parameter kimia meliputi C02, pH, alkalinitas, fosfor, dan logam-logam
berat.
b. Parameter biokimia
Parameter biokimia meliputi BOD (Biochemical Oxygen Demand), yaitu
jumlah oksigen dalam air. Cars pengukurannya adalah dengan
menyimpan sampel air yang telah diketahui kandungan oksigennya
selama 5 hari. Kemudian kadar oksigennya diukur lagi. BOD digunakan
untuk mengukur banyaknya pencemar organik.
Menurut menteri kesehatan, kandungan oksigen dalam air minum atau BOD tidak boleh kurang dari 3 ppm.
c. Parameter fisik
Parameter fisik meliputi temperatur, warna, rasa, bau, kekeruhan, dan radioaktivitas.
d. Parameter biologi
Parameter biologi meliputi ada atau tidaknya mikroorganisme, misalnya, bakteri coli, virus, bentos, dan plankton.
3. Perubahan Lingkungan
Perubahan lingkungan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup manusia menyebabkan adanya gangguan terhadap keseimbangan karena sebagian dari komponen lingkungan menjadi berkurang fungsinya. Perubahan lingkungan dapat terjadi karena campur tangan manusia dan dapat pula karena faktor alami. Dampak dari perubahannya belum tentu sama, namun akhirnya manusia juga yang mesti memikul serta mengatasinya.
1. Perubahan Lingkungan karena Campur Tangan Manusia
Perubahan lingkungan karena campur tangan manusia contohnya penebangan hutan, pembangunan pemukiman, dan penerapan intensifikasi pertanian.
Penebangan hutan yang liar mengurangi fungsi hutan sebagai penahan air. Akibatnya, daya dukung hutan menjadi berkurang. Selain itu, penggundulan hutan dapat menyebabkan terjadi banjir dan erosi. Akibat lain adalah munculnya harimau, babi hutan, dan ular di tengah pemukiman manusia karena semakin sempitnya habitat hewan-hewan tersebut. Lihat Gambar 8.8.
Pembangungan pemukiman pada daerah-daerah yang subur merupakan salah satu tuntutan kebutuhan akan pagan. Semakin padat populasi manusia, lahan yang semula produktif menjadi tidak atau kurang produktif.
Pembangunan jalan kampung dan desa dengan cara betonisasi mengakibatkan air sulit meresap ke dalam tanah. Sebagai akibatnya, bila hujan lebat memudahkan terjadinya banjir. Selain itu, tumbuhan di sekitamya menjadi kekurangan air sehingga tumbuhan tidak efektif melakukan fotosintesis. Akibat lebih lanjut, kita merasakan pangs akibat tumbuhan tidak secara optimal memanfaatkan CO2, peran tumbuhan sebagai produsen terhambat.
Penerapan intensifikasi pertanian dengan cara panca usaha tani, di satu sisi meningkatkan produksi, sedangkan di sisi lain bersifat merugikan. Misalnya, penggunaan pupuk dan pestisida dapat menyebabkan pencemaran. Contoh lain pemilihan bibit unggul sehingga dalam satu kawasan lahan hanya ditanami satu macam tanaman, disebut pertanian tipe monokultur, dapat mengurangi keanekaragaman sehingga keseimbangan ekosistem sulit untuk diperoleh. Ekosistem dalam keadaan tidak stabil. Dampak yang lain akibat penerapan tipe ini adalah terjadinya ledakan hama.
2. Perubahan Lingkungan karena Faktor Alam
Perubahan lingkungan secara alami disebabkan oleh bencana alam. Bencana alam seperti kebakaran hutan di musim kemarau menyebabkan kerusakan dan matinya organisme di hutan tersebut. Selain itu, terjadinya letusan gunung menjadikan kawasan di sekitarnya rusak.
4. Pengelolaan Lingkungan
Sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam, agar lingkungan tetap lestari, harus diperhatikan tatanan/tata cara lingkungan itu sendiri. Dalam hal ini manusialah yang paling tepat sebagai pengelolanya karena manusia memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan organisme lain. Manusia mampu merombak, memperbaiki, dan mengkondisikan lingkungan seperti yang dikehendakinya, seperti:
1. manusia mampu berpikir serta meramalkan keadaan yang akan
datang
2. manusia memiliki ilmu dan teknologi
3. manusia memiliki akal dan budi se hingga dapat memilih hal-hal yang
baik.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup.
Pengelolaan ini mempunyai tujuan sebagai berikut.
1. Mencapai kelestarian hubungan manusia dengan lingkungan hidup
sebagai tujuan membangun manusia seutuhnya.
2. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.
3. Mewujudkan manusia sebagai pembina lingkungan hidup.
4. Melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan untuk
kepentingan generasi sekarang dan mendatang.
Melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Melalui penerapan pengelolaan lingkungan hidup akan terwujud kedinamisan dan harmonisasi antara manusia dengan lingkungannya.
Untuk mencegah dan menghindari tindakan manusia yang bersifat kontradiksi dari hal-hal tersebut di atas, pemerintah telah menetapkan kebijakan melalui Undang-undang Lingkungan Hidup.
Undang-undang lingkungan hidup
Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 11 Maret 1982. Undang-undang ini berisi 9 Bab terdiri dari 24 pasal. Undang-undang lingkungan hidup bertujuan mencegah kerusakan lingkungan, meningkatkan kualitas lingkungan hidup, dan menindak pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan rusaknya lingkungan.
Undang-undang lingkungan hidup antara lain berisi hak, kewajiban, wewenang dan ketentuan pidana yang meliputi berikut ini.
1. Setiap orang mempunyai hak atas ling kungan hidup yang balk dan
sehat.
2. Setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan dan mencegah
serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan
3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta tersebut diatur dengan
perundang-undangan.
4. Barang siapa yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup
atau tercemamya lingkungan hidup diancam pidana penjara atau
denda.
Upaya pengelolaan yang telah digalakkan dan undang-undang yang telah dikeluarkan belumlah berarti tanpa didukung adanya kesadaran manusia akan arti penting lingkungan dalam rangka untuk meningkatkan kualitas lingkungan serta kesadaran bahwa lingkungan yang ada saat ini merupakan titipan dari generasi yang akan datang.
Upaya pengelolaan limbah yang saat ini tengah digalakkan adalah pendaurulangan atau recycling. Dengan daur ulang dimungkinkan pemanfaatan sampah, misalnya plastik, aluminium, dan kertas menjadi barang-barang yang bermanfaat.
Usaha lain dalam mengurangi polusi adalah memanfaatkan tenaga surya. Tenaga panas matahari disimpan dalam sel-sel solar untuk kemudian dimanfaatkan dalam keperluan memasak, memanaskan ruangan, dan tenaga gerak. Tenaga surya ini tidak menimbulkan polusi.
Selain tenaga surya, tenaga angin dapat pula digunakan sebagai sumber energi dengan menggunakan kincir-kincir angin.
Di beberapa negara maju telah banyak dilakukan pemisahan sampah organik dan anorganik untuk keperluan daur ulang. Dalam tiap rumah tangga terdapat tempat sampah yang berwarna-warni sesuai peruntukkannya.
Lingkungan
1. Keseimbangan Lingkungan
Definisi lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya.
Komponen lingkungan terdiri dari faktor abiotik (tanah, air, udara, cuaca, suhu) dan faktor biotik (tumbuhan dan hewan, termasuk manusia).
Lingkungan hidup balk faktor biotik maupun abiotik berpengaruh dan dipengaruhi manusia. Segala yang ada pada lingkungan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, karena lingkungan memiliki daya dukung. Daya dukung lingkungannya adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Dalam kondisi alami, lingkungan dengan segala keragaman interaksi yang ada mampu untuk menyeimbangkan keadaannya. Namun tidak tertutup kemungkinan, kondisi demikian dapat berubah oleh campur tangan manusia dengan segala aktivitas pemenuhan kebutuhan yang terkadang melampaui Batas.
Keseimbangan lingkungan secara alami dapat berlangsung karena beberapa hal, yaitu komponen-komponen yang ada terlibat dalam aksi-reaksi dan berperan sesuai kondisi keseimbangan, pemindahan energi (arus energi), dan siklus biogeokimia dapat berlangsung. Keseimbangan lingkungan dapat terganggu bila terjadi perubahan berupa pengurangan fungsi dari komponen atau hilangnya sebagian komponen yang dapat menyebabkan putusnya mata rantai dalam ekosistem. Salah satu faktor penyebab gangguan adalah polusi di samping faktor-faktor yang lain.
2. Polusi
Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982).
Zat atau bahan yang dapat mengakibatkan pencemaran disebut polutan. Syarat-syarat suatu zat disebut polutan bila keberadaannya dapat menyebabkan kerugian terhadap makhluk hidup. Contohnya, karbon dioksida dengan kadar 0,033% di udara berfaedah bagi tumbuhan, tetapi bila lebih tinggi dari 0,033% dapat rnemberikan efek merusak.
Suatu zat dapat disebut polutan apabila:
1. jumlahnya melebihi jumlah
normal
2. berada pada waktu yang tidak
tepat
3. berada pada tempat yang tidak
tepat
Gbr. Lingkungan Dikelilingi Polusi
Sifat polutan adalah:
1. merusak untuk sementara, tetapi bila telah bereaksi dengan zat
lingkungan tidak merusak lagi
2. merusak dalam jangka waktu lama.
Contohnya Pb tidak merusak bila konsentrasinya rendah. Akan tetapi
dalam jangka waktu yang lama, Pb dapat terakumulasi dalam tubuh
sampai tingkat yang merusak.
Macam-macam Pencemaran
Macam-macam pencemaran dapat dibedakan berdasarkan pada tempat terjadinya, macam bahan pencemarnya, dan tingkat pencemaran.
a. Menurut tempat terjadinya
Menurut tempat terjadinya, pencemaran dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu pencemaran udara, air, dan tanah.
1. Pencemaran udara
Pencemar udara dapat berupa gas dan partikel. Contohnya sebagai berikut.
a. Gas HzS. Gas ini bersifat racun, terdapat di kawasan gunung berapi,
bisa juga dihasilkan dari pembakaran minyak bumi dan batu bara.
b. Gas CO dan COz. Karbon monoksida (CO) tidak berwarna dan tidak
berbau, bersifat racun, merupakan hash pembakaran yang tidak
sempurna dari bahan buangan mobil dan mesin letup. Gas COZ dalam
udara murni berjumlah 0,03%. Bila melebihi toleransi dapat meng-
ganggu pernapasan. Selain itu, gas C02 yang terlalu berlebihan di
bumi dapat mengikat panas matahari sehingga suhu bumi panas.
Pemanasan global di bumi akibat C02 disebut juga sebagai efek rumah
kaca.
c. Partikel SOZ dan NO2. Kedua partikel ini bersama dengan partikel cair
membentuk embun, membentuk awan dekat tanah yang dapat
mengganggu pernapasan. Partikel padat, misalnya bakteri, jamur,
virus, bulu, dan tepung sari juga dapat mengganggu kesehatan.
d. Batu bara yang mengandung sulfur melalui pembakaran akan meng-
hasilkan sulfur dioksida. Sulfur dioksida ber$ama dengan udara serta
oksigen dan sinar matahari dapat menghasilkan asam sulfur. Asam ini
membentuk kabut dan suatu saat akan jatuh sebagai hujan yang
disebut hujan asam. Hujan asam dapat menyebabkan gangguan pada
manusia, hewan, maupun tumbuhan. Misalnya gangguan pernapasan,
perubahan morfologi pada daun, batang, dan benih.
Sumber polusi udara lain dapat berasal dari radiasi bahan radioaktif, misalnya, nuklir. Setelah peledakan nuklir, materi radioaktif masuk ke dalam atmosfer dan jatuh di bumi. materi radioaktif ini akan terakumulusi di tanah, air, hewan, tumbuhan, dan juga pada manusia. Efek pencemaran nuklir terhadap makhluk hidup, dalam taraf tertentu, dapat menyebabkan mutasi, berbagai penyakit akibat kelainan gen, dan bahkan kematian.
Pencemaran udara dinyatakan dengan ppm (part per million) yang artinya jumlah cm3 polutan per m3 udara.
2. Pencemaran air
Polusi air dapat disebabkan oleh beberapa jenis pencemar sebagai berikut.
a. Pembuangan limbah industri, sisa insektisida, dan pembuangan
sampah domestik, misalnya, sisa detergen mencemari air. Buangan
industri seperti Pb, Hg, Zn, dan CO, dapat terakumulasi dan bersifat
racun.
b. Sampah organik yang dibusukkan oleh bakteri menyebabkan 02 di air
berkurang sehingga mengganggu aktivitas kehidupan organisme air.
c. Fosfat hasil pembusukan bersama h03 dan pupuk pertanian
terakumulasi dan menyebabkan eutrofikasi, yaitu penimbunan mineral
yang menyebabkan pertumbuhan yang cepat pada alga (Blooming
alga). Akibatnya, tanaman di dalam air tidak dapat berfotosintesis
karena sinar matahari terhalang.
Salah satu bahan pencemar di laut ada lah tumpahan minyak bumi, akibat kecelakaan kapal tanker minyak yang sering terjadi. Banyak organisme akuatik yang mati atau keracunan karenanya. (Untuk membersihkan kawasan tercemar diperlukan koordinasi dari berbagai pihak dan dibutuhkan biaya yang mahal. Bila terlambat penanggulangan-nya, kerugian manusia semakin banyak. Secara ekologis, dapat mengganggu ekosistem laut.
Bila terjadi pencemaran di air, maka terjadi akumulasi zat pencemar pada tubuh organisme air. Akumulasi pencemar ini semakin meningkat pada organisme pemangsa yang lebih besar.
3. Pencemaran tanah
Pencemaran tanah disebabkan oleh beberapa jenis pencemaran berikut ini :
a. sampah-sampah pla.stik yang sukar hancur, botol, karet sintesis,
pecahan kaca, dan kaleng
b. detergen yang bersifat non bio degradable (secara alami sulit
diuraikan)
c. zat kimia dari buangan pertanian, misalnya insektisida.
4. Polusi suara
Polusi suara disebabkan oleh suara bising kendaraan bermotor, kapal terbang, deru mesin pabrik, radio/tape recorder yang berbunyi keras sehingga mengganggu pendengaran.
b. Menurut macam bahan pencemar
Macam bahan pencemar adalah sebagai berikut.
1. Kimiawi; berupa zat radio aktif, logam (Hg, Pb, As, Cd, Cr dan Hi),
pupuk anorganik, pestisida, detergen dan minyak.
2. Biologi; berupa mikroorganisme, misalnya Escherichia coli, Entamoeba
coli, dan Salmonella thyposa.
3. Fisik; berupa kaleng-kaleng, botol, plastik, dan karet.
c. Menurut tingkat pencemaran
Menurut WHO, tingkat pencemaran didasarkan pada kadar zat pencemar dan waktu (lamanya) kontak. Tingkat pencemaran dibedakan menjadi 3, yaitu sebagai berikut :
1. Pencemaran yang mulai mengakibatkan iritasi (gangguan) ringan pada
panca indra dan tubuh serta telah menimbulkan kerusakan pada
ekosistem lain. Misalnya gas buangan kendaraan bermotor yang
menyebabkan mata pedih.
2. Pencemaran yang sudah mengakibatkan reaksi pada faal tubuh dan
menyebabkan sakit yang kronis. Misalnya pencemaran Hg (air raksa)
di Minamata Jepang yang menyebabkan kanker dan lahirnya bayi
cacat.
3. Pencemaran yang kadar zat-zat pencemarnya demikian besarnya
sehingga menimbulkan gangguan dan sakit atau kematian dalam
lingkungan. Misalnya pencemaran nuklir.
2. Parameter Pencemaran
Dengan mengetahui beberapa parameter yang ads pads daerah/kawasan penelitian akan dapat diketahui tingkat pencemaran atau apakah lingkungan itu sudah terkena pencemaran atau belum. Paramaterparameter yang merupakan indikator terjadinya pencemaran adalah sebagai berikut :
a. Parameter kimia
Parameter kimia meliputi C02, pH, alkalinitas, fosfor, dan logam-logam
berat.
b. Parameter biokimia
Parameter biokimia meliputi BOD (Biochemical Oxygen Demand), yaitu
jumlah oksigen dalam air. Cars pengukurannya adalah dengan
menyimpan sampel air yang telah diketahui kandungan oksigennya
selama 5 hari. Kemudian kadar oksigennya diukur lagi. BOD digunakan
untuk mengukur banyaknya pencemar organik.
Menurut menteri kesehatan, kandungan oksigen dalam air minum atau BOD tidak boleh kurang dari 3 ppm.
c. Parameter fisik
Parameter fisik meliputi temperatur, warna, rasa, bau, kekeruhan, dan radioaktivitas.
d. Parameter biologi
Parameter biologi meliputi ada atau tidaknya mikroorganisme, misalnya, bakteri coli, virus, bentos, dan plankton.
3. Perubahan Lingkungan
Perubahan lingkungan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup manusia menyebabkan adanya gangguan terhadap keseimbangan karena sebagian dari komponen lingkungan menjadi berkurang fungsinya. Perubahan lingkungan dapat terjadi karena campur tangan manusia dan dapat pula karena faktor alami. Dampak dari perubahannya belum tentu sama, namun akhirnya manusia juga yang mesti memikul serta mengatasinya.
1. Perubahan Lingkungan karena Campur Tangan Manusia
Perubahan lingkungan karena campur tangan manusia contohnya penebangan hutan, pembangunan pemukiman, dan penerapan intensifikasi pertanian.
Penebangan hutan yang liar mengurangi fungsi hutan sebagai penahan air. Akibatnya, daya dukung hutan menjadi berkurang. Selain itu, penggundulan hutan dapat menyebabkan terjadi banjir dan erosi. Akibat lain adalah munculnya harimau, babi hutan, dan ular di tengah pemukiman manusia karena semakin sempitnya habitat hewan-hewan tersebut. Lihat Gambar 8.8.
Pembangungan pemukiman pada daerah-daerah yang subur merupakan salah satu tuntutan kebutuhan akan pagan. Semakin padat populasi manusia, lahan yang semula produktif menjadi tidak atau kurang produktif.
Pembangunan jalan kampung dan desa dengan cara betonisasi mengakibatkan air sulit meresap ke dalam tanah. Sebagai akibatnya, bila hujan lebat memudahkan terjadinya banjir. Selain itu, tumbuhan di sekitamya menjadi kekurangan air sehingga tumbuhan tidak efektif melakukan fotosintesis. Akibat lebih lanjut, kita merasakan pangs akibat tumbuhan tidak secara optimal memanfaatkan CO2, peran tumbuhan sebagai produsen terhambat.
Penerapan intensifikasi pertanian dengan cara panca usaha tani, di satu sisi meningkatkan produksi, sedangkan di sisi lain bersifat merugikan. Misalnya, penggunaan pupuk dan pestisida dapat menyebabkan pencemaran. Contoh lain pemilihan bibit unggul sehingga dalam satu kawasan lahan hanya ditanami satu macam tanaman, disebut pertanian tipe monokultur, dapat mengurangi keanekaragaman sehingga keseimbangan ekosistem sulit untuk diperoleh. Ekosistem dalam keadaan tidak stabil. Dampak yang lain akibat penerapan tipe ini adalah terjadinya ledakan hama.
2. Perubahan Lingkungan karena Faktor Alam
Perubahan lingkungan secara alami disebabkan oleh bencana alam. Bencana alam seperti kebakaran hutan di musim kemarau menyebabkan kerusakan dan matinya organisme di hutan tersebut. Selain itu, terjadinya letusan gunung menjadikan kawasan di sekitarnya rusak.
4. Pengelolaan Lingkungan
Sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam, agar lingkungan tetap lestari, harus diperhatikan tatanan/tata cara lingkungan itu sendiri. Dalam hal ini manusialah yang paling tepat sebagai pengelolanya karena manusia memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan organisme lain. Manusia mampu merombak, memperbaiki, dan mengkondisikan lingkungan seperti yang dikehendakinya, seperti:
1. manusia mampu berpikir serta meramalkan keadaan yang akan
datang
2. manusia memiliki ilmu dan teknologi
3. manusia memiliki akal dan budi se hingga dapat memilih hal-hal yang
baik.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup.
Pengelolaan ini mempunyai tujuan sebagai berikut.
1. Mencapai kelestarian hubungan manusia dengan lingkungan hidup
sebagai tujuan membangun manusia seutuhnya.
2. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.
3. Mewujudkan manusia sebagai pembina lingkungan hidup.
4. Melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan untuk
kepentingan generasi sekarang dan mendatang.
Melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Melalui penerapan pengelolaan lingkungan hidup akan terwujud kedinamisan dan harmonisasi antara manusia dengan lingkungannya.
Untuk mencegah dan menghindari tindakan manusia yang bersifat kontradiksi dari hal-hal tersebut di atas, pemerintah telah menetapkan kebijakan melalui Undang-undang Lingkungan Hidup.
Undang-undang lingkungan hidup
Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 11 Maret 1982. Undang-undang ini berisi 9 Bab terdiri dari 24 pasal. Undang-undang lingkungan hidup bertujuan mencegah kerusakan lingkungan, meningkatkan kualitas lingkungan hidup, dan menindak pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan rusaknya lingkungan.
Undang-undang lingkungan hidup antara lain berisi hak, kewajiban, wewenang dan ketentuan pidana yang meliputi berikut ini.
1. Setiap orang mempunyai hak atas ling kungan hidup yang balk dan
sehat.
2. Setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan dan mencegah
serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan
3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta tersebut diatur dengan
perundang-undangan.
4. Barang siapa yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup
atau tercemamya lingkungan hidup diancam pidana penjara atau
denda.
Upaya pengelolaan yang telah digalakkan dan undang-undang yang telah dikeluarkan belumlah berarti tanpa didukung adanya kesadaran manusia akan arti penting lingkungan dalam rangka untuk meningkatkan kualitas lingkungan serta kesadaran bahwa lingkungan yang ada saat ini merupakan titipan dari generasi yang akan datang.
Upaya pengelolaan limbah yang saat ini tengah digalakkan adalah pendaurulangan atau recycling. Dengan daur ulang dimungkinkan pemanfaatan sampah, misalnya plastik, aluminium, dan kertas menjadi barang-barang yang bermanfaat.
Usaha lain dalam mengurangi polusi adalah memanfaatkan tenaga surya. Tenaga panas matahari disimpan dalam sel-sel solar untuk kemudian dimanfaatkan dalam keperluan memasak, memanaskan ruangan, dan tenaga gerak. Tenaga surya ini tidak menimbulkan polusi.
Selain tenaga surya, tenaga angin dapat pula digunakan sebagai sumber energi dengan menggunakan kincir-kincir angin.
Di beberapa negara maju telah banyak dilakukan pemisahan sampah organik dan anorganik untuk keperluan daur ulang. Dalam tiap rumah tangga terdapat tempat sampah yang berwarna-warni sesuai peruntukkannya.
Langganan:
Postingan (Atom)