Minggu, 02 Mei 2010

Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat untuk Bioremediasi Tanah
Bekas Tambang Batubara

PENDAHULUAN
Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam
industri batubara dan mineral dunia. Tahun 2005 Indonesia
menduduki peringkat ke-2 sebagai negara pengekspor
batubara uap. Untuk pertambangan mineral, Indonesia
merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2, tembaga
peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4 dan emas peringkat ke-8
dunia (Gautama, 2007). Namun demikian, pertambangan
selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, sebagai
sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang
sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran sudah tidak
diragukan lagi bahwa sektor ini merupakan salah satu tulang
punggung pendapatan negara selama bertahun-tahun.
Sebagai perusak lingkungan, praktek pertambangan terbuka
(open pit mining) yang paling banyak diterapkan pada
penambangan batubara dapat mengubah iklim mikro dan
tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit batubara
disingkirkan.
Permasalahan yang paling berat akibat penambangan
terbuka adalah terjadinya fenomena acid mine drainage (AMD)
atau acid rock drainage (ARD) akibat teroksidasinya mineral
bersulfur (Untung, 1993) dengan ditandai berubahnya warna
air menjadi merah jingga. AMD akan memberikan
serangkaian dampak yang saling berkaitan, yaitu menurunnya
pH, ketersediaan dan keseimbangan unsur hara dalam tanah
terganggu, serta kelarutan unsur-unsur mikro yang umumnya
merupakan unsur logam meningkat (Marschner, 1995; Havlin
et al., 1999). Hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan
bahwa kandungan sulfat pada tanah bekas tambang batubara
PT. Bukit Asam di Sumatera Selatan mencapai 60.000 ppm,
pH 2,8 dan kandungan logam-logam jauh di atas ambang
batas untuk air bersih. Kualitas lingkungan perairan yang
demikian dapat mengganggu kesehatan manusia dan
kehidupan lainnya. Disamping itu, kondisi tanah yang
demikian degraded, mengakibatkan kegiatan revegetasi
memerlukan biaya yang mahal.
Dengan demikian masalah yang harus diatasi terlebih
dahulu dalam mengendalikan AMD adalah memperbaiki
kondisi tanah. Salah satu metode yang ramah lingkungan
adalah bioremediasi, yaitu suatu proses dengan menggunakan
mikroorganisme, fungi, tanaman hijau atau ensim yang
dihasilkan untuk mengembalikan kondisi lingkungan dengan
cara mengeliminasi kontaminan (Wilkipedia, 2006). Kelompok
mikrobaa yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki
kualitas tanah bekas tambang batubara adalah bakteri
pereduksi sulfat (BPS). Dalam aktivitas metabolismenya BPS
dapat mereduksi sulfat menjadi H2S. Gas ini akan segera
berikatan dengan logam-logam yang banyak terdapat pada
lahan bekas tambang dan dipresipitasikan dalam bentuk
logam sulfida yang reduktif (Hards and Higgins, 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan BPS
yang diisolasi dari limbah industri kertas untuk menurunkan
kadar sulfat pada lahan bekas tambang batubara.
BAHAN DAN METODE
Bakteri pereduksi sulfat (BPS) diisolasi dari limbah
industri kertas (sludge) PT. Indah Kiat Pulp and Paper di
Riau sedangkan tanah bekas tambang batubara diambil dari PT. Bukit Asam di Sumatra Selatan. Bakteri diisolasi
pada media Postgate (Atlas and Park, 1993) yang
mengandung (g/l) Na laktat (3,5), Mg.SO4 (2,0), NH4Cl
(0,2), KH2PO4 (0,5), FeSO4. 7 H2O (0,5) dan Agar (16,0)
dan pH 4 kemudian disterilkan pada suhu 121?C tekanan 1
atmosfir selama 15 menit. Pertumbuhan BPS ditandai
dengan timbulnya koloni berwarna coklat tua sampai hitam
pada dasar tabung.
Uji aktivitas bakteri pereduksi sulfat pada media Postgate
cair
Isolat BPS yang digunakan pada penelitian ini
merupakan hasil seleksi berdasarkan kecepatan
tumbuhnya (Widyati, 2003). Komposisi isolat yang
digunakan merupakan campuran 4 isolat yang berdasarkan
identifikasi awal keempatnya termasuk genus Desulfovibrio
(Widyati, 2006). Masing-masing isolat dipelihara pada
media Postgate.
Masing-masing isolat murni BPS tersebut (0,25 ml)
diinokulasi ke media Postgate cair yang diperkaya dengan
larutan asam sulfat 2 N sebanyak 5% (v/v) jika populasi
telah mencapai 105 cfu/ml media. Kultur diinkubasi dalam
tabung ulir volume 25 ml sampai penuh. Percobaan
dilakukan dalam rancangan acak lengkap dengan 3 kali
ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 3 tabung ulir.
Setiap lima hari sampai hari keduapuluh dilakukan
pengukuran sulfat. Sebagai kontrol adalah perlakuan
media postgate B yang diperkaya dengan larutan asam
sulfat 2 N sebanyak 5% (v/v) tetapi tidak diinokulasi
dengan BPS.
Uji aktivitas bakteri pereduksi sulfat untuk bioremediasi
tanah bekas tambang batubara
Komposisi bakteri yang digunakan pada percobaan ini
sama dengan pada percobaan uji BPS pada media
Postgate cair. Sebelum diinokulasikan pada tanah bekas
tambang batubara, biakan BPS sebanyak 1% dicampurkan
pada bahan organik steril kemudian diinkubasi selama 4
hari. Setelah bakteri tumbuh yang ditandai dengan
terbentuknya gelembung dipermukaan bahan organik
segera dimasukkan ke dalam tanah bekas tambang
batubara dengan perbandingan 1 : 3 (v/v). Selanjutnya
tanah ditambah dengan air steril sampai jenuh (berbentuk
pasta/lumpur). Percobaan dilakukan dalam rancangan
acak lengkap dengan 3 kali ulangan, masing-masing
ulangan terdiri atas 5 ember. Sebagai kontrol diberikan
tanah bekas tambang batubara yang diberi bahan organik
steril dan dilumpurkan. Setiap 5 hari sampai hari ke-20
dilakukan pengukuran sulfat, pH dan Eh tanah. Untuk
mengetahui pertumbuhan BPS setiap 5 hari selama 20 hari
pada perlakuan BPS dilakukan re-isolasi pada media
Postgate agar kemudian dihitung jumlah koloni yang
tumbuh. Efisiensi bioremediasi dihitung untuk mengetahui
berapa persen polutan yang dapat diturunkan selama
perlakuan. Efisiensi dihitung dengan rumus Widyati (2006),
sebagai berikut:
1. Efisiensi masing-masing perlakuan
(konsentrasi sulfat awal) – (konsentrasi sulfat akhir) x 100%
(konsentrasi awal)
2. Efisiensi perlakuan terhadap kontrol dihitung dengan
rumus:
(kons. sulfat akhir kontrol) – (kons. sulfat akhir perlakuan) x100%
(konsentrasi sulfat akhir kontrol)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pada perlakuan
yang tidak diinokulasi dengan BPS konsentrasi sulfat dalam
larutan tersebut relatif tidak mengalami perubahan (Gambar
1). Sedangkan pada perlakuan yang diinokulasi dengan
BPS terjadi penurunan dari konsentrasi sulfat sebesar
48.400 ppm pada hari ke-0 menjadi 9.300 ppm pada hari
ke-20 setelah inkubasi. Pada percobaan ini BPS mulai
menurunkan sulfat setelah hari ke-5 inkubasi.
Isolat murni BPS yang diisolasi dari limbah industri
kertas dapat mereduksi sulfat yang ditambahkan ke dalam
media Postgate (Gambar 1). Penurunan tersebut apabila
dihitung dengan rumus efisiensi (Widyati, 2006) didapatkan
nilai efisiensi sebesar 83,88%, sedangkan kontrol yang
tidak diinokulasi dengan BPS hanya mengalami penurunan
dengan efisiensi sebesar 0,81% dalam waktu 20 hari.
Penurunan konsentrasi sulfat pada penelitian ini karena
BPS dapat menggunakan sulfat sebagai akseptor elektron
untuk aktivitas metabolismenya (Higgins et al., 2003).
Karena sulfat menerima elektron maka senyawa ini akan
mengalami reduksi menjadi sulfida sehingga
konsentrasinya dalam kultur tersebut mengalami
penurunan.
Ujicoba pemanfaatan BPS juga dilakukan untuk
menurunkan kandungan sulfat pada tanah bekas tambang
batubara. Hasil pengukuran perubahan kadar sulfat pada
tanah bekas tambang batubara oleh aktivitas BPS
ditunjukkan pada Gambar 2. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa perlakuan bioremediasi dengan BPS
dapat menurunkan konsentrasi sulfat dalam tanah bekas
tambang batubara secara signifikan (P<0,05), dengan
efisiensi 91,28% dibanding kontrol.

Dalam melakukan reduksi sulfat, BPS menggunakan
sulfat sebagai sumber energi yaitu sebagai akseptor
elektron dan menggunakan bahan organik sebagai sumber
karbon (C). Karbon tersebut berperan selain sebagai donor
elekton dalam metabolisme juga merupakan bahan
penyusun selnya (Groudev et al., 2001). Sedangkan
menurut Djurle (2004) BPS menggunakan donor elektron
H2 dan sumber C (CO2) yang dapat diperoleh dari bahan
organik. Reaksi reduksi sulfat oleh BPS menurut Van
Houten (2003) dalam Djurle (2004) adalah sebagai berikut:
SO4
2- + H2 + 2 H+ ? H2S + 4H2O

Penurunan yang terjadi pada perlakuan kontrol
ini karena pada perlakuan ini ke dalam tanah bekas
tambang batubara ditambahkan bahan organik dan
ditambahkan air sampai jenuh. Penjenuhan air
mengakibatkan tanah menjadi anaerob yang ditandai
dengan perubahan potensial redoks (Eh) menjadi negatif
(Gambar 3). Penurunan Eh menunjukkan adanya
perubahan kondisi lingkungan dari aerob (positif) menjadi
anaerob (negatif) karena oksigen yang mengisi pori-pori
tanah terdesak dan digantikan oleh air. Pada kondisi
anaerob bahan organik akan berperan sebagai donor
elektron (Groudev et al., 2001). Ketika sulfat menerima
elektron dari bahan organik maka akan mengalami reduksi
membentuk senyawa sulfida seperti yang digambarkan oleh
Foth (1990) dalam persamaan reaksi sebagai berikut:
SO4
2- + H2O + 2 e- ? SO3
2- + 2 OHSO3
2- + H2O + 6 e- ? S2- + 6 OHMenurunnya
konsentrasi sulfat pada perlakuan kontrol
terjadi karena dalam kondisi anaerob akseptor elektron
yang pada kondisi aerob dilakukan oleh oksigen bebas
akan digantikan oleh molekul lain (Foth, 1990), seperti nitrat
dan sulfat (Foth, 1990; Groudev et al., 2001). Pada
penelitian ini yang berperan sebagai akseptor elektron
adalah sulfat yang konsentrasinya pada tanah bekas
tambang batubara berkisar antara 32.000 – 60.000 ppm
(Widyati 2006).
Pada penelitian ini, penurunan konsentrasi sulfat
(termasuk asam kuat) akan meningkatkan pH tanah
(Gambar 4). Hal ini terjadi karena beberapa proses yang
saling berkaitan, yaitu karena penggenangan, penambahan
bahan organik dan aktivitas BPS. Pada proses
penggenangan seperti yang ditunjukkan oleh reaksi (Foth,
1990) dilepaskan ion-ion hidroksil yang akan mengikat ion
H+. Disamping itu peningkatan pH juga terjadi karena
pemberian bahan organik. Bahan organik mempunyai
buffering capacity sehingga dapat meningkatkan atau
menurunkan pH lingkungannya (Stevenson, 1994).
Apabila dibandingkan antara perlakuan kontrol dengan
perlakuan BPS, meskipun kedua perlakuan memberikan
suasana anaerob yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
(Gambar 3), tetapi memberikan hasil yang berbeda nyata
dalam menurunkan sulfat dan meningkatkan pH tanah
bekas tambang batubara. Perlakuan BPS menurunkan
sulfat dan meningkatkan pH secara signifikan sedangkan
perlakuan kontrol tidak. Perlakuan BPS dapat mereduksi
sulfat tanah >80% (Gambar 2) sehingga dapat
meningkatkan pH mendekati netral (Gambar 5). Hal ini
menunjukkan bahwa reaksi reduksi sulfat yang dikatalis
oleh BPS lebih efisien daripada proses reduksi secara kimia
karena penjenuhan dan penambahan bahan organik.
Namun demikian, penambahan bahan organik dan
penjenuhan tetap diperlukan karena menurut Alexander
(1977) bahwa reaksi reduksi sulfat oleh BPS menjadi
sulfida dapat ditingkatkan melalui penambahan kadar air
dan penambahan bahan organik tanah. Proses ini
memerlukan Eh yang rendah (anaerob) dan umumnya
dibatasi oleh pH di atas 6.
Untuk menguji apakah BPS yang diinokulasikan dapat
hidup dan berperan aktif dalam proses bioremediasi tanah
bekas tambang batubara, maka setiap 5 hari selama 20
hari dilakukan re-isolasi BPS. Hasil re-isolasi ditunjukkan
pada Gambar 5, dimana BPS yang diinokulasikan dapat
tumbuh dengan baik, sehingga pada hari ke-15 jumlahnya
meningkat 195 kali lipat. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Alexander (1977), bahwa ketika terjadi defisiensi
O2 karena penggenangan (flooding) maka akan
meningkatkan populasi BPS ribuan kali lipat dalam waktu
kurang lebih 2 minggu. Populasi mikroba ini berkembang
menjadi 23.000% dalam waktu 20 hari. Dalam tanah
bekas tambang batubara banyak mengandung sulfat yang
sangat diperlukan oleh BPS sebagai sumber energi untuk
menerima elektron selama aktivitas metabolik dalam
selnya. Karena menurut Hards and Higgins (2004), bahwa
BPS dalam hidupnya memerlukan sulfat sebagai akseptor
elektron dan bahan organik sebagai sumber C. Sehingga
ketika mereka dimasukkan ke dalam lingkungan tanah
bekas tambang batubara yang banyak mengandung sulfat,
sudah barang tentu dapat meningkatkan aktivitas
metaboliknya dan mengakibatkan populasinya berkembang
baik.

Menurut Alexander (1977) BPS terdiri dari 2 genus,
yaitu Desulfovibrio dan Desulfotomaculum. Desulfovibrio
hidup pada kisaran pH 6 sampai netral, sedangkan
Desulfotomaculum merupakan kelompok BPS yang termofil
(menyukai suhu yang tinggi). Dari hasil penelitian
lingkungan tanah bekas tambang batubara setelah diberi
perlakuan bioremediasi mempunyai pH sekitar 6 (Gambar
5) dan suhunya berkisar pada suhu ruangan (25°C – 30°C)
tidak termofil (>55°C) sehingga kuat dugaan bahwa BPS
yang ditemukan sangat dekat sifat-sifatnya dengan genus
Desulfovibrio. Sedangkan menurut Feio et al. (1998) media
Postgate yang digunakan merupakan media selektif yang
paling cocok untuk mengisolasi BPS dari genus
Desulfovibrio.

Kemampuan BPS dalam menurunkan kandungan sulfat
sehingga dapat meningkatkan pH tanah bekas tambang
batubara ini sangat bermanfaat pada kegiatan rehabilitasi
lahan bekas tambang batubara. Peningkatan pH yang
dicapai hampir mendekati netral (6,66) sehingga sangat
baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman revegetasi
maupun kehidupan biota lainnya.
KESIMPULAN
Bakteri pereduksi sulfat (BPS) efektif digunakan dalam
proses bioremediasi tanah bekas tambang batubara
dengan waktu inkubasi 20 hari. Aktivitas BPS dapat
menurunkan konsentrasi sulfat pada tanah bekas tambang
batubara dengan efisiensi 89,76% dalam waktu inkubasi 20
hari. Penurunan sulfat tersebut dapat meningkatkan pH
tanah bekas tambang batubara dari 4,15 menjadi 6,66
dalam waktu yang sama. Nilai pH tersebut merupakan pH
yang ideal untuk pertumbuhan sebagian besar tanaman,
sehingga bioremediasi tanah dengan BPS akan sangat
membantu kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang
batubara.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. 2nd ed. John Willey
& Son. New York
Atlas, M.R. and L.C. Parks. 1993. Handbook of Microbiological Media.
CRC Press. Boca Raton.
Djurle, C. 2004. Development of a Model for Simulation of Biological
Sulphate Reduction with Hidrogen as Energy Source. Master Thesis.
Department of Chemical Engineering. Lund Institute of Technology. The
Netherlands.
Feio, M.J., H.B. Beech, M. Carepo, J.M. Lopes, C.W.S. Cheung, R. Franco,
J. Guezennec,J.R. Smith, J.I. Mitchell, J.J.G. Moura and A.R. Lino.
1998. Isolation and characterization of a novel sulphate-reducing
bacterium of the Desulfovibrio genus. Anaerobe (4): 117 – 130.
Foth, H.D. 1990. Fundamentals of Soil Science. 8th ed. John Willey&son.
New York.
Gautama RS. 2007. Pidato Guru Besar ITB: Pengelolaan air asam tambang:
aspek penting menuju pertambangan berwawasan lingkungan.
www.itb.ac.id/favicon.ico[20 Mei 2007]
Groudev, S.N., K. Komnitsas, I.I. Spasova and I. Paspaliaris. 2001.
Treatment of AMD by a natural wetland. Minerals Engineering 12: 261-
270.
Hards, B.C. and J.P. Higgins. 2004. Bioremediation of Acid Rock
Drainage Using SRB. Jacques Whit Environment Limited. Ontario.
Havlin, J.L., J.B. Beaton, S.L. Tisdale SL and W.L. Nelson. 1999. Soil
Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management.
Prentice Hall. New Jersey.
Higgins, J.P., B.C. Hards and A.I. Mattes. 2003. Biremediation of Acid
Rock Drainage Using Sulfate Reducing Bacteria.
www.Jacqueswhitford.com/site_jw/ media/ 1_4SC_
sudburrypapers2003mayHiggins10_8_pdf [16 Juli 2004]
Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd ed. Academic
Press. London.
Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition,
Reaction. John Willey&son. New York.
Untung, S.R. 1993. Dampak Air Asam Tambang dan Upaya
Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tambang Batubara dan Mineral.
Bandung (Tidak dipublikasikan).
Widyati, E. 2003. Isolasi dan seleksi bakteri pengasimilasi sulfur. Laporan
tahunan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Tidak
dipublikasikan.
Widyati, E. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas tambang Batubara dengan
Sludge Industri Kertas untuk Memacu Revegetasi Lahan. Disertasi
Doktor. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor
www.wilkipedia.com.thefreeencyclopedia/bioremediation.htm. Bioremediation.
[18 Juni 2006]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar